Sabtu, 12 September 2009

Ilmu Naskh dan Mansukh Hadits

A. Pendahuluan
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan meneladani beliau. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hasyr: 7:
وما ءتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
Artinya: “.... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah....”.
Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Dalam kaitan hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur’ân, ada hukum atau ketentuan yang disebut mansûkh (dihapus, datang lebih dahulu) dan nasîkh (menghaspus, yang datang kemudian dinamakan). Sesuatu yang datang kemudian kadang kala bisa menjadi patokan untuk menetapkan suatu hal yang baru dan menghilangkan kekuatan atau ketetapan yang sudah ada. Bukti atau argumen yang baru tersebut bisa jadi lebih kuat dan lebih dapat diperpegangi untuk menetapkan –hukum- yang baru.
Dalam pembahasan hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam, maka hadits juga mengalami an-Nasîkh wa al-Mansûkh, yaitu batalnya atau hilangnya suatu hukum syar’ie pada satu hadits karena datangnya hukum syar’i yang baru dari suatu hadits lain.
Tulisan berikut akan menyajikan materi berkenaan tentang ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh, baik pengertian, jalan mengetahui nasakh dan mansukh hadits, urgensi ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh dan kitab yang ditulis ulama mengenai nasakh dan mansukh.
B. Pengertian
Kata نسخ secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu: 1) al-izâlah (الإزالة) yang berarti menghilangkan, sebagaimana pada perkataan yang maksudnya “matahari menghilangkan bayangan” (نَسْخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ) dan pengertian lain bisa berarti 2) an-naql (النقل) yang berarti menyalin, sebagaimana pada perkataan نَسْخَتُ اْلكِتاَبُ (aku menyalin kitab).
Sedangkan pengertian an-naskh secara istilah yaitu seperti pendapat ulama ushul adalah:
رَفْعُ الشَّارِعُ حُكْماً شَرْعِيًّا بِدَلِـيْلٍ شَرْعِيٍّ مُـتَراَخٍ عَـنْهُ
Artinya: “syar’i mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian”. Atau pada pengertian lain disebutkan bahwa:
هُوَ رَفْعُ الشَّارِعُ حُكْماً مِـنْهُ مُتَـقَدِّماً بحُِكْمِ مِـنْهُ مَـتَأَخِّرُ
Artinya: “yaitu syar’ie mengangkat suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Dengan demikian yang dimaksud an-naskh dalam pengertian tersebut bahwa ketetapan hukum yang sudah tetap sebelumnya, menjadi tidak berlaku lagi atau diganti dengan ketetapan hukum yang baru berdasarkan dalil hadits (muhkam) yang datang kemudian yang memenuhi ketentuan syara’, namun demikian tidak termasuk dalam ketentuan ini jika suatu dalil menerangkan kekhususan dalil terdahulu (mujmal), atau jika dalil kemudian memberikan kekhususan (takhsis) terhadap dalil yang masih umum (‘am), juga jika suatu dalil mentaqyidkan dalil yang mutlak. Sehingga, jika suatu hadits tidak membatalkan kedudukan hukum hadits yang terdahulu, maka hal tersebut tidak termasuk nasakh.
Pengertian ilmu nasakh wa al-mansûkh dalam hadits adalah:
َالْعِلْمُ الَّذِى يُبْحَثُ عَنِ اْلأَحٰدِيْثِ اْلمُـتَعٰرِضَةِ الَّتِى لاَيُمْكِنُ التَّوْفِيْقُ بَيْنَهَا مِنْ حَيْثُ اْلحُكْمِ عَلىٰ بَعْضِهاَ بِاَنَّهُ ناَسِخٌ وَعَلىٰ بَعْضِهاَ اْلأَخَرِ بِاَنَّهُ مَنْسُوخٌ فَمَا ثَـبَتَ تَقَدُّمُهُ كاَنَ مَنْسُوخاً وَماَ ثَـبَتَ تَأَخُّرُهُ كاَنَ سِخاًّ
Artinya: “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang yang pada akhirnya terjadi saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang lebih dahulu disebut mansûkh dan yang datang kemudian dinamakan nasîkh.”
Dari pengertian tersebut kita ketahui bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh memfokuskan pembahasan pada hadits-hadits yang berlawanan atau bertentangan dari segi hukum yang mengakibatkan terjadinya pengahapusan salah satu diantara keduanya.
‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh sangat penting dalam ilmu hadits bahkan merupakan suatu kewajiban yang sangat penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat, karena seorang yang akan membahas ilmu syari’at tidak akan bisa menetapkan suatu hukum dari dalil-dalil nash hadits, tanpa terlebih dahulu mengetahui mana dalil hadits yang sudah dinasakh dan mana dalil hadits mansûkhnya. Karena sulit dan pentingnya, Al-Zuhry menyatakan bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha, hal tersebut dikarenakan tingginya tingkat kesulitan ilmu tersebut, terutama ketika melakukan istinbat hukumnya dari suatu nash yang samar-samar.
Al-Hazimy menyatakan bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh termasuk sarana penyempurna ijtihad, Karena diketahui dalam berijtihad harus ada kesanggupan dan seorang mujtahid untuk menarik atau mengambil suatu kesimpulan dari dalil-dalil nash dan ketika menukil dalil nash tersebut mestilah mengtahui mana dalil yang sudah diangkat (mansûkh) dan mana dalil nash yang mengangkatnya (nâsikh).
Seseorang dapat mengetahui bahwa suatu hadits mansûkh oleh hadits yang datang kemudian adalah berdasarkan: 1). Pernyataan dari Rasulullah SAW., 2). Penjelasan dari shahabat; dan 3). Dengan mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits. Berikut penjelasan dan contoh hadits yang dihapus dan menghapus:
1. Pernyataan dari Rasulullah SAW;
Adakalanya satu hadits berisi pernyataan nasakh dan mansukh terhadap suatu ketetapan hukum, dimana dalam satu hadits tersebut terdapat dua macam hukum yang terlihat bertentangan, seperti contoh hadits berikut:
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْـتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Buraidah ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah qubur, maka sekarang ziarahilah qubur” (HR. Muslim)
Pada hadits tersebut terdapat dua pernyataan Rasulullah tentang ziarah qubur, yaitu pertama bahwa beliau pernah melarang menziarahi qubur, dengan kalimat “كُنْتُ نَهَيْـتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ”, tetapi pada pernyataan kedua beliau membolehkan kaum muslimin menziarahi qubur, dengan kata beliau “فَزُوْرُوْهاَ”.
2. Penjelasan dari shahabat;
Dalam masalah ini shahabat menjelaskan atau menyampaikan satu hadits dari nabi dengan menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan, menyetujui, atau mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam satu hadits, seperti dalam hadits tentang batalnya wudhu karena makan sesuatu yang sudah dimasak, diberitakan dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz bahwa Abdullah bin Ibrahim bin Qarizh mengabarkan bahwa Ia mendapati (melihat) Abu Hurairah sedang berwudhu di Masjid, lalu Abu Hurairah berkata:
اِنَّماَ اَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْواَرِ أَقِطٍ اَكَلْـتُهاَ, لاَِنيِّ سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: تَوَضَّـؤُوْا ممِاَّ مَسَّتِ الناَّرُ (رواه مسلم)
Artinya: Sesungguhnya aku berwudhu karena telah makan sepotong keju, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang telah dimasak”. (HR. Muslim)
عَنْ جاَبِرِ بْنِ سمَُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ؟ قاَلَ: إِنْ شِئْتَ فَـتَوَضَّأ,ْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَـتَوَضَّأْ, قاَلَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ؟ قاَلَ: نَعَمْ, فَـتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir bin Samurah ra., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah aku harus berwudhu karena makan daging kambing?”, Rasulullah SAW bersabda: “Jika mau, silahkan berwudhu, tapi jika tidak, janganlah berwudhu”. Laki-laki itu bertana lagi: “Apakah aku harus berwudhu, karena telah makan masakan daging unta?”, Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena talah makan masakan daging unta”. (HR. Muslim).
Pada hadits tersebut dijelaskan sahabat, Jabir bin Samurah, mengabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya tentang apakah ia harus berwudhu setelah makan masakan (daging unta yang dimasak) dan Rasulullah SAW melarang memakan daging yang sudah dimasak.
Hadits tersebut dinasakh oleh hadist yang juga dikabarkan oleh seorang sahabat yang bernama Ja’far bin Amri sebagai berikut:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرو بْنِ أُمَـيَّةَ الضِّمْرِيِّ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّـهُ رَأٰى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يحَْـَتزُّ مِنْ كَـتِفِ شَاةٍ, فَاَكَلَ مِنْهاَ, فَدُعِيَ إِلىٰ الصَّلاَةِ, فَقاَمَ, وَطَرَحَ السِّكِّيْنَ, وَصَلىّٰ, وَلَمْ يَـتَوَضَّأْ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ja’far bin Amri bin Umayyah ad-Dhimriy, dari ayahnya, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW memotong sekerat masakan daging kambing dan memakannya. Tiba-tiba kedengaran adzan shalat, beliau berdiri dan meletakkan pisaunya, langsung shalat tanpa berwudhu lebih dahulu” (HR. Muslim)
Dengan demikian kabar dari sahabat Rasulullah pada hadits pertama tentang pernyataan Nabi terhadap batalnya wudhu karena makan daging yang telah dimasak, dinasakh oleh hadits kedua yang juga kabar dari sahabat tentang perbuatan Nabi yang tidak berwudhu dahulu ketika melaksanakan shalat, meskipun Beliau telah makan daging yang telah dimasak.
3. Dengan mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits:
Sejarah (tarikh) keluarnya hadits juga perlu diketahui untuk menetapkan bahwa ketetapan hukum pada satu hadits dinasakh oleh hadits lain yang datang kemudian, artinya seorang yang hendak menetapkan suatu hukum mesti mengetahui lebih dahulu mana hadits yang datang (dikeluarkan oleh Nabi) pertama dan mana hadits yang datang kemudian.
Seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang berbekam terdapat dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari Hasan;
وَيُرْوٰى عَنْ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوْعاً فَقاَلَ أَفْطَرَ اْلحٰجِمُ وَاْلمَحْجُوْمُ (رواه البخارى)
Artinya: dan diriwayatkan dari Hasan dari yang lainnya secara marfu’ (Nabi SAW) bersabda “Batal puasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Bukhari)
Hadits tersebut kemudian dinasakh oleh hadits yang datang kemudian, seperti sabda Rasululah SAW:
حَدَّثَـناَ مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَـناَ وُهَيْبٌ عَنْ أَيُوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضَيَ اللهُ عَنْهُماَ أَنَّ النَّـِبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِحْـتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْـتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه البخاري)
Artinya: Ibnu Asad mengabarkan kepada kami, Wuhaib mengabarkan kepada kami dari Ayub dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs ra. bahwa Nabi SAW berbekam sedang beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa. (HR. Bukhari)
Nûr al-Dîn ‘Îtr dalam Minhaj al-Naqd fî ’Ulûm al-Hadits mengutip pendapat Imam al-Muthalaby Muhammad bin Idrîs al-Syafi’iy, beliau menyatakan bahwa hadits kedua menasakh hadits yang pertama, hal tersebut karena ada penjelasan atau bukti yang benar dan menguatkan bahwa hadits pertama terjadi pada saat penaklukkan kota Mekkah, tahun 8 H. Sedang pada hadits yang kedua terjadi pada peristiwa haji wada’ yaitu pada tahun 10 H ,
Jadi selain keterangan lansung dari Nabi SAW atau sahabat-sahabat beliau, sejarah atau urutan –hadits mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian- keluarnya suatu juga sangat menentukan dan berpengaruh dalam penetapan suatu hukum syara’, karena bisa saja seorang yang tidak mengetahui bahwa satu hadits sudah tidak muhkam lagi karena dihapus oleh hadits yang datang pada beberapa saat atau tahun kemudian, akan salah menetapkan suatu hukum.

C. Urgensi ‘Ilmu al-Naskh wa al-Mansûkh Hadits
Suatu hari ‘Ali bin Abu Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadhi, lalu beliau menanyakan sesuatu kepada qadhi tersebut, “Apakah kamu mengenal nasîkh dan mansûkh suatu hadits?”, sang qadhi kemudian menjawab “Tidak”, ‘Ali bin Abu Thalib “celakahkah kamu dan juga orang lain”.
Diriwayatkan lagi bahwa Imam Ahmad bertanya kepada Ibnu Warih tentang apakah Ibnu Warih mengutip tulisan-tulisan Imam Syafi’i, tetapi Ibnu Warih menjawab bahwa beliau tidak mencatatnya. Kemudian Iman Ahmad berkata “Celakalah Kamu, Kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassar serta nasakh dan mansûkhnya suatu hadits sebelum kita semua ini duduk berguru dengan Imam Syafi’i”.
Kedua cerita tersebut, menjadi dasar bagi kita tentang pentingnya ilmu Nâsikh dan Mansûkh, disamping bahwa mengetahui hal tersebut adalah suatu keharusan bagi siapa pun yang menekuni dan mengkaji hukum-hukum syara guna menetapkan suatu hukum syar’i, karena tidak akan memungkinkan bagi seorang untuk dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil Nâsikh dan Mansûkh dalam masalah yang hendak disimpulkan hukumnya tersebut.
Karenanya ulama berpendapat bahwa ilmu Nâsikh dan Mansûkh adalah suatu ilmu yang penting bagi kemaslahatan umat, karena akan berdampak pada penetapan hukum, meskipun al-Zuhri mengatakan bahwa mengetahui Nâsikh dan Mansûkh suatu hadits merupakan usaha yang memayahkan dan menghabiskan energi pada fuqaha.

D. Kitab-Kitab yang Berkenaan dengan Nâsikh dan Mansûkh Hadits
Kemunculan Nâsikh dan Mansûkh sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri jauh sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, meskipun sebagai suatu ilmu sudah ada sejak pendewanan hadits (tadwîn al-hadîts) pada awal abad pertama. Di antara ulama yang memberikan kontribusi tentang nâsikh dan mansûkh dalam hadits, yaitu:
1. Qatadah bin Di’amah al-Sudusy (61-118 H), beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Nâsikh dan Mansûkh, di mana beliau membuat sebuah karya yang berjudul al-Nâsikh wa al-Mansûkh, namun kitab tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena hilang.
2. Imam Al-Hafizh Al-Nassabah Abu Bakr Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Handani (w.584 H) dengan kitab karya beliau; Al-I’tibâr fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr. Kitab tersebut sudah disusun secara sistematis menurut bab-bab fiqhiyyah, di mana pada setiap bab beliau mengemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan, namun beliau juga tidak mengabaikan pendapat para ulama disamping pendapat beliau sendiri sekaligus Nâsikh dan Mansûkhnya.
3. Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H) yang merupakan sahabat dari Imam Ahmad, memberikan konstribusi berupa kitab Nâsikh wa al-Mansûkhihi yang terdiri dari 3 juz.
4. Abu Hafshin bin Ahmad al-Bagdady (Ibnu Syahin) (297-285) seorang ulama Irak, mengarang kitab Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuhu yang terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan, tetapi sekarang tersimpan di perpustakaan Nasional Paris (Francis) dan satu naskah lagi berada di Perpustakaan Escorial (Spanyol).
5. Abu al-Fajr Abd al-Rahman bin ‘Ali (lebih dikenal sebagai Ibu al-Jauzi) dengan karyanya Al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkh.

E. Kesimpulan
Dari uraian tentang ilmu nâsikh dan mansûkh hadits, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Secara bahasa nâsikh berarti: 1) al-izâlah (menghilangkan) dan 2) an-naql (menyalin). Secara istilah berarti: mengangkat syar’i (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian. Sebagai suatu ilmu dapat diformulasikan menjadi: Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang yang pada akhirnya terjadi saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang lebih dahulu disebut mansûkh dan yang datang kemudian dinamakan nasîkh.
2. Tidak termasuk ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh jika suatu dalil menerangkan kekhususan dalil terdahulu (mujmal), atau jika dalil kemudian memberikan kekhususan (takhsis) terhadap dalil yang masih umum (‘am), juga jika suatu dalil mentaqyidkan dalil yang mutlak.
3. ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh termasuk sarana penyempurna ijtihad, walaupun paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha.
4. Cara mengetahui bahwa suatu hadits mansûkh oleh hadits yang datang kemudian adalah: a) Pernyataan dari Rasulullah SAW, b) Penjelasan dari shahabat, c) mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits.
5. ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh menjadi penting karena tidak memungkinkan bagi seorang untuk dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil Nâsikh dan Mansûkh.

0 komentar:

Posting Komentar