This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Yuk berbagi informasi dan pengetahuan. Semoga blog ini bermanfaat.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 14 Oktober 2010

BEBERAPA ASPEK EPISTEMOLOGI DALAM MEMBANGUN ILMU ISLAM

Oleh: Muhammad Toha
A. Pendahuluan
Peradaban Islam sesungguhnya telah berkembang jauh sebelum bangsa-bangsa Barat banyak melakukan berbagai penemuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Sebut saja pakar-pakar muslim seperti Ibnu Sîna yang merupakan filosof dan ahli dalam kedokteran. Ibnu Sina juga merupakan Bapak kedokteran modern, Ibnu Khaldun seorang pakar ekonomi, historiografi dan sosiologi, Al-Farabi yang mempunyai kontribusi besar pada bidang matematika dan Farmasi, atau Abu Musa Al-Kawarizm yang menggubah dan menggunakan angka Arab modern serta menemukan angka Sifr (nol, 0) dan nisbat namanya dalam matematika moder untuk istilah logaritma.
Pada zaman keemasan Islam tersebut, para Sarjana Muslim sebagai pelopor perkembangan ilmu dan teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya tidak terlepas dari peran agamanya, yaitu Islam. Sebagai sumber utama pengembangan ilmunya tentu saja kembali kepada Al-Qur’ân dan Hadist Nabi. Kemerosotan peradaban Islam saat ini tentunya disebabkan umat muslim sendiri telah melupakan epistomologi yang seharusnya diaplikasikan secara islami. Padahal Allah telah berfirman dalam QS. Al-Hajj (22):3 yang artinya: “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat”.
Bagaimanakah kita sebagai umat Islam, sebagai intelektual muslim, sebagai sarjana dan calon-calon sarjana muslim menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern saat ini yang kadangkala jika diamati banyak bertentangan dengan moral dan akhlak kehidupan yang Islami. Misalnya saja perkembangan teknologi nuklir yang akhirnya digunakan untuk membunuh satu sama lain, penemuan farmasi yang ternyata disalah gunakan untuk merusak generasi muda dengan “narkoba” dan obat-obatan psikotropika, rekayasa genetika yang mungkin nantinya mengaburkan silsilah keturunan. Alhasil memang peradaban modern yang tidak didampingi oleh akhlak (agama) yang baik akan menuju kehancuran.
Untuk itu, pada makalah ini penulis mencoba membahas dan menguraikan tentang aspek-aspek teori ilmu pengetahuan (Epistemologi) dalam pengembangan ilmu Islam. Apakah semua teori/aliran filasafat yang berkembang selama ini (Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Hermeneutik, Rasional Metaphisik, dan Pragmatisme) sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam (Epistemologi Islam)?

B. Pengertian-Pengertian
1. Epistemologi
Para ahli menyatakan bahwa kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu epistime yang berarti pengetahuan dan kata logos yang mempunyai sandingan dengan ilmu, jadi secara literlik dapat dikatakan arti epistemologi adalah ilmu pengetahuan. (Quraish Shihab, 2006:125) Ketika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita menemukan arti epistemologi sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan.
“Epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.” Bagi sesuatu ilmu, pertanyaan yang menyangkut definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya. (Kamrani Buseri)
Epistemologi dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai theory of knowledge dan pakar Islam menyebutnya sebagai Nazhâriyat al-Ma’rifat (Murtadha Muthahhari, 2008:19). Beragam uraian dan penjelasan dikemukakan oleh para ahli mengenai persoalan-persoalan apa saja yang dibahas dalam epistemologi, namun dapat disimpulkan menjadi beberapa masalah, yaitu:
a. Apakah sumber pengetahuan? Dan bagaimana manusia bisa mengetahuinya?
b. Apa yang menjadi watak pengetahuan? Apakah sesuatu yang diketahui itu “ada” wujudnya diluar benak siapa yang mengetahui, yakni “ada” wujudnya di alam nyata? Kalau ia “ada” apakah manusia dapat menjangkaunya?
c. Apakah pengetahuan kita, yang ada dalam benak itu, benar adanya? Bagaimana kita membedakan antara yang benar dan yang salah?. (Murtadha Muthahhari, 2008: 127-128)
Bisa dikatakan bahwa aspek garapan dari epistemologi meliputi : a). Sumber pengetahuan dan bagaimana manusia dapat mengetahui bahwa sesuatu dapat menjadi sumber pengetahuan, b). Setelah diketahui bahwa ada sumber pengetahuan, kemudian apakah sumber pengetahuan itu ada di alam nyata, dan c). Pengetahuan yang didapat dari sumber tersebut apakah sudah benar, kalaupun sudah benar apakah kebenaran ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan pandangan manusia saja atau benar berdasarkan ketentuan Allah swt.
2. Ilmu Islam
Kata Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris kita temukan padanannya sebagai Science. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa ilmu adalah: “Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu”
Istilah Ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai keserupaan dengan istilah Science dalam epistemologi Barat –yang dipandang sebagai “Any organized knowledge”-, jika dalam epistemologi Barat membedakan antara istilah knowledge dengan science, maka dalam epistemologi Islampun juga membedakan antara Ilmu (‘Ilm, yang diformulasikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”) dengan opini (ra’y).
Sedang para ahli memberikan batasan ilmu sebagai:
a. Mohammad Hatta: “ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan yang sama tabiatnya, meupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun meurut bangunannya dari dalam. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990:324)
b. Ralps Ross dan Ernest Van Den Haag: “ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak”. (Mulyadhi Kartanegara, tt:1)
c. Ashley Montagu (Guru Besar Antropolog pada Universitas Rutgers): “ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat yang sedang dikaji”. (Mulyadhi Kartanegara, tt:1)
Dari beberapa pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang harus sistematis, empiris, rasional, terukur dan berlaku umum. Jadi tidak akan dikatakan suatu ilmu jika pengetahuan tersebut bersifat tidak tersusun, irrasional maupun tidak dapat diukur (diuji). Namun menurut Mulyadhi Kartanegara yang dikutip Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa objek ilmu tidak mesti empiris karena realitas tidak hanya empiris melainkan juga hal yang tidak empiris karena lebih luas dan dalam jika dibandingkan dengan realita empiris.
Dalam hal ini Ilmu Islam adalah ilmu yang koheren dengan nash (al-Qur’ân dan Hadîts shahih), dengan demikian ilmu pengetahuan (science) dalam Islam memiliki definisi yang kental dengan nuansa spiritualitas, transendensi, karena memang Islam sudah memandang setiap sisi kehidupan adalah aktifitas ibadah bagi manusia. Setiap elemen hidup dan alam berikut proses interaksinya sepatutnya mengikuti sistem keteraturan (kebenaran) yang telah digariskan Sang Pencipta. Dengan demikian setiap informasi yang berkaitan dengan hal tersebut yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan, merefleksikan kebenaran dan keagungan Tuhan. Sehingga setiap manusia yang semakin memiliki dan memahami ilmu pengetahuan sepatutnya semakin mengenal dan dekat dengan Sang Pencipta.

C. Tantangan Umat Islam
Tantangan umat Islam pada zaman sekarang adalah tantangan ilmu pengetahuan. Penyebaran ilmu pengetahuan dengan aktor peradaban barat yang mengirim ilmu pengetahuan keseluruh penjuru dunia. Barat menawarkan obat penyembuh ilmu pengetahuan dari penderitaan pengetahuan umat Islam saat ini. Padahal ini merupakan racun yang sangat mematikan bagi tumbuh kembangnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Ilmu pengetahuan yang terkembangkan oleh kepantikan agama tentunya akan mengarakan kesebuah titik tolok pikir (Epistemologi) non material dan pembebasan dari ketergantunagn dari sesuatu nilai keberadaan. Hal ini di ungkapkan oleh Syed M Naquib Al Attas berikut ini:
“Sains kontemporer tumbuh berkembang dari sebuah filsafat yang sejak paling awalnya telah mengatakan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu yang lainya. Segala yang ada adalah kemajuan, pekembangan, atau evolusi dari potensi laten di dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang terlihat dalam hal ini adalah alam semesta yang tak tergantung apapun dan kekal (tak diciptakan); sesuatu yang berjalan dengan sendirinya dan memilki hukum sendiri. Penolakan terhadap Tuhan telah tersirat dalam filsafat ini”.

Hal tersebut menunjukan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini belum bisa meraba kebenaran terakhir. Semua hanya berpijak pada kulit luar dari materi yang bersifat berkekalan namun relatif. Hossein Nasr memberi gambaran dalam kaidah filsafat modern (Filsafat materialistik) mengakibatkan penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang terjadi di dunia mutakhir ini. Menciptakan runtutan peradaban materi dan menyeret manusia menuju cara pandang yang materialistik. Atau kata lainya mencuci manusia dengan dilektika negatif, yang mana segala sesuatu berasal dari sesuatu yang lain. Dan meniadakan peran Tuhan dalam hal ini.
Manusia modern memanang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al-Qur’ân mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya:
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain . Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”.( QS. An Nahl [16]: 92)

Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
D. Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam
Dari pengertian tentang epsitemologi pada bagian terdahulu dapat dikatakan bahwa pada bagian ini (Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam) mengehendaki satu pembahasan tentang apsek apa saja yang terdapat dalam espitemologi (teori ilmu pengetahun) tersebut dalam usaha umat Islam untuk mengembangkan ilmu dalam konteks Islam, artinya ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor ajaran Islam sebagai ajaran yang universal (Rahmatan li al-‘Alamîn).
Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (al-Qur’ân dan al-Hadîts) (Mujamil Qomar, M.Ag, 2007:187). Dengan demikian setiap ilmu –ilmu pengetahuan keduniaan dan teknologinya maupun ilmu agama- yang dikembangkan dalam Islam harus senantiasa mengacu kepada al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai suatu landasan berpijak yang diyakini kebenaran yang qath’i.
Ketika membangun ilmu Islam, maka bangunan ilmu tersebut mestilah sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan alam serta tidak mengabaikan dimensi ilahiyah, dalam arti bahwa ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor kemanusiaan yang senantiasa tunduk dengan senantiasa patuh kepada hukum Ilahiyah, baik itu hukum –meminjam istilah Quraish Shihab- qauliyah maupun kauniyah.
Epistemologi harus dikembalikan menjadi epistemologi yang Islami dalam arti mengedepankan 2 unsur yang seimbang yaitu ilmu pengetahuan berdasar ayat-ayat yang bersifat “Qauliyah” atau Empirik termasuk didalamya rasio, panca indera dan intuisi (hati), kedua, ayat-ayat “Kauniyah” atau berdasarkan sumber-sumber formal Islam seperti wahyu dalam al-Qur’ân yang menerangkan kepada manusia tentang sesuatu bersifat meta-empirik atau supra rasional dan Hadist Nabi. Kenyataan empirik mungkin dapat dibuktikan dengan metodologi penelitian yang sudah berkembang saat ini, tapi untuk ayat-ayat “Kauniyah” maka hati atau intuisilah yang memegang peranan dimana ketaqwaan dan keimanan seorang akan mempengaruhi hal tersebut, Allah sendiri telah menyampaikan firmannya sebagai berikut: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al Hajj: 8)
Peringatan Allah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang hanya menggunakan ayat-ayat Qauliyah atau empirik saja tanpa ada pertanggungjawabannya terhadap sesuatu yang ghaib atau meta-empirik dalam hal ini tentunya keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan mereka, sebagai yang Maha Tahu. Para intelektual saat ini seakan-akan mulai terkena syndrome atheisme dimana semua kepandaiannya dan kejeniusannya dalam penemuan-penemuan ilmu dan teknologi karena hasil jerih payahnya sendiri dalam menggunakan akal dan panca inderanya.
BEBERAPA PERTANYAN MENDASAR EPISTEMOLOGI
1. Pertanyaan pertama: Sarana apakah yang menjamin manusia mencapai pengetahuan (kebenaran/kenyataan) –sumber ilmu-?
Terhadap pertanyaan tersebut berbagai aliran filsafat mengemukakan jawaban tersendiri, yaitu:
a. Positivisme, dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626) yang menegaskan bahwa pengalaman empirislah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. (http://rizazaimun.blogspot.com) Apa-apa yang didapat dari eksperimen empiris, melalui metoda induktif, yang dapat dikatakan ilmiah. Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris.
Dalam Islam, hal tersebut tidaklah bertentangan, karena kebenaran yang dianut oleh Positivisme hanya berada pada wilayah material (Quraish Shihab:144-145; Murtadha Muthahhari:72), dan Al-qur’ân mejelasan bahwa: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An Nahl [16]: 78)
Pada ayat tersebut, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa alat pokok yang digunakan untuk meraih pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan (material), sehingga Islam mengakui kebenaran yang berdasarkan empiris (teramati dengan kedua indra tersebut).
Al-Qur’ân juga menyampaikan metode observasi ketika melakukan penelitian, yang artinya: 31. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya . berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS. Al-Maidah [6]: 31)
Observasi atau pengamatan indrawi bisa melalui alat indra telanjang atau dengan bantuan alat seperti mikroskop mapun teleskop. (Mulyadhi Kartanegara:3)
b. Rasionalisme dan Phenomenologik (yang mengembangkan Rasionalisme kritis ): kebenaran adalah sesuatu yang masuk akal, satu-satunya cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui metoda ilmiah yang ditopang oleh rasionalisme, sedang Pnomenologik berangapan bahwa kebenaran/ilmu diperoleh dengan intuisi langsung terhadap sumber utama pengetahuan serta studi intuisi atas esensi-esensi dan kebenaran berdasar pada gejala yang diamati melalui deduksi atau induksi (Rajihah dan Nidawati, , 2008:11). Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah rasio. Hanya pengetahuan yang didapat dari akallah, dengan metoda deduktif, yang memenuhi syarat lmiah. (http://rizazaimun.blogspot.com)
Selain observasi dan eksperimen (positivistik), juga disyaratkan kemampuan imajinatif, analisis, dan sintesis, terutama ketika menjawab pertanyaan yang susah ketika dicari jawabannya melalui observasi dan eksperimen. (Abudin Nata, MA., et. al., 2005:60) Hal tersebut juga diisyaratkan dalam firman Allah SWT yang artinya: 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghâsiyah [88]: 17 – 20)
Kembali, al-Qur’ân menyatakan bahwa kebenaran –ilmu- bisa diperoleh dengan mengarahkan dan mendayagunakan akal (fu’ad, sebagaimana QS. Al-Nahl [16]: 78), sehingga ilmu yang diperoleh dengan mendayagunakan indra jika dibarengi dengan pengerahan akal, maka akan diperoleh ilmu/kebenaran yang optimal.
Akal mampu memahami substansi-substansi dan esensi-esensi yang bersifat non-fisik (Mulyadhi Kartanegara, 2005:108), sehingga akal dapat menangkap informasi dari objek-objek yang tidak mungkin ditangkap oleh indra.
c. Hermeneutik : pada dasarnya adalah suatu metode untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan seperti teks untuk dicari arti dan maksudnya, dimana metode ini menyasratkan adanya kemampuan menafsirkan masa lampau yang tidak dialami penafsir untuk dibawa ke masa sekarang.
Dalam kajian ilmu keislaman, epistemologi ini bisa digunakan dalam rangka memahami ayat-ayat al-Qur’ân dan hadîts dengan melihat pada konteks keadaan atau situasi dan kondisi masyarakat pada saat ayat tersebut turun (asbab al-nuzûl) dan kondisi saat hadits (asbab al-wurûd) dikeluarkan, juga dengan kondisi dan situasi satu tafsir dikarang oleh seorang mufassir, serta dengan konteks kekinian (keadaan masyarakat sekarang), dalam corak tafsir kita kenal dengan corak adab al-Ijtima’iy.
Namun tentu saja kajian tafsir hermeneutik ini harus sesuai dengan koridor “keagungan” dan “kesucian” wahyu. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar (akal), jadi harus kita akui bahwa disamping ada hal yang rasional, irrasional, tetapi juga ada yang supra-rasional (diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya, karena akal manusia didesain terbatas).
…                   
Artinya: …Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
d. Rasional Metaphisik : Kebenaran berasal dari dunia objektif universal, dan tugas ilmu penetahuan adalah berupaya mendekati kebenaran mutlak tersebut yang kemudian diuji dengan logika deduktif probabilistik dan teori falsifikasi.
Dalam penerapan dengan ilmu keislaman bisa dikaitkan dengan naqd al-hadîts –walaupun dalam kritik hadits lebih bersifat verifikasi ketimbang falsifikasi-, namun bisa dikompromikan dengan cara meneliti dimana letak kesalahan atau kekeliruan dalam sanad suatu hadits.
Rasional metaphisik ternyata juga sampai pada pencarian kebenaran yang ada “dibalik sesuatu yang fisik” tetapi tidak sampai pada yang transendental. Disinilah fungsi wahyu yang menjelaskan tentang adanya “transendental” tersebut. Al-Qur’ân menghendaki ketika mengembangkan suatu ilmu –yang didapat melalui pengkajian ayat-ayat quliyah terutama kauniyah- harus sampai pada yang transendetal, bahwa ada yang haq dibalik sesuatu, yaitu Allah, pada epistemologi metaphisik inipun harus sampai pada bertambahnya keimanan kepada Sang Khaliq sekaligus bermakna dan berguna bagi makhluq (Theo-Antropho), sehingga Islam mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam pandangan Islam, ternyata ada wujud yang tidak nampak –tidak dapat dijangkau oleh indra- betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran yang dikerahkan untuk menggapainya, tapi yang mampu menagkapnya hanyalah hati (qalb) melalui intuisi, ilham, maupun wahyu. Sehingga al-Qur’ân disamping mengarahkan dan membimbing indra pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal dan qalbu (hati)
e. Pragmatisme : Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat bagi manusia (bersifat individual, lokal, dan temporal). Pemikiran epistemologi ini bertentangan dengan prinsip pengembangan ilmu dalam Islam, karena Islam hanya memperkenankan kebermanfaatan universal dan tidak merugikan kepada yang lain:
…            ••      ••  …
Artinya: ...Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya . dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...

Menurut ayat tersebut bahwa ketika merugikan –membunuh- seseorang maka sama halnya dengan merugikan seluruh manusia, tetapi ketika seseorang memberi manfaat kepada seseorang maka sama halnya ia memberi manfaat kepada seluruh manusia.
2. Pertanyaan kedua: “Apa yang disebut kebenaran/kenyataan itu”
Para pakar empiris (positivisme) berpendapat bahwa tolok ukur kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya untuk dibuktikan melalui pengalaman, bahkan sebagian mengajukan syarat “pengalaman praktis” atau bila sesuai dengan pengalaman indrawi (correspondence) . Sedangkan para rasionalis menyatakan bahwatolok ukur kebenaran ilmu adalah watak dasar atau akal fitrah atau bila sesuai dengan tatacara yang berlaku dalam penalaran ilmiah (Koherensi) , artinya kebenaran ilmu itu harus “masuk akal” (rasional) jika tidak masuk akal maka ilmu tersebut salah.
Kedua hal tersebut tidak sepenuhnya benar dalam “ilmu Islam”, tolok ukur pengalaman hanya dapat digunakan pada hal-hal kasat mata (empiris), namun tidak untuk ilmu kasat mata –matematika- dan akal murni. Pada kesempatan laih, bahwa hasil yang dicerna oleh pengalaman itu harus diketahui melalui pengetahuan yang sifatnya “perolehan”, sedang sarana perolehan berada pada wilayah kebenaran menurut manusia, artinya kebenaran yang nisbi, serta belum dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya, karena masih punya sifat subjektifitas individunya. Sehingga dalam pandangan Islam bahwa apa yang muncul dari dalam diri manusia bisa jadi “bisikan malaikat” (lammah al-malakiyah) atau “bisikan syeithan” (lammah al-syaihôniyah).
Al-Qur’ân mengisyaratkan adanya dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajarkan pengetahuan (kebenaran). Pertama, melalui “pena” atau tulisan yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua, melalui pengajaran langsung tanpa alat, yang biasa disebut dengan ilm ladunni yang kebenarannya melebihi hasil penalaran, hal ini bisa dilihat dari kisah Nabi Musa yang begitu kritis dan cerdas mempertanyakan setiap tindakan gurunya yang senantiasa tidak rasional (lihat QS. Al-Kahfi [18]: 60 – 82), kedua cara tersebut dapat dilihat dari firman Allah:
         
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, bahwa kedua ayat tersebut dapat diartikan “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan)(hal-hal yang tidak diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya. Dimana kalimat “hal-hal yang tidak diketahui manusia sebelumnya” disisipkan karena isyarat pada susunan kedua, yaitu “apa yang belum diketahui sebelumnya”, sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan yang pertama. Dan yang dimaksud dengna ungkapan “telah diketahui sebelumnya” yaitu khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan.
Aliran-aliran epistemologi (Phenomenologik : apabila mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Rasional Metaphisik : Kebenaran dengan falsifikasi. Pragmatisme : sesuatu itu harus mempunyai kegunaan yang berorientasi kepada problem. Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat bagi manusia dan bersifat individual) tersebut mendasarkan kebenaran menurut pandangan masing-masing, namun ketika ilmu yang dikembangkan menurut aturan Islam, yaitu bahwa ilmu tersebut “benar” jika tidak terlepas dari konsep Theo-antropho, yaitu benar menurut alam –hukum alam atau ayat-ayat kauniyah- juga harus benar menurut Allah. Dan sekali lagi disinilah peranan wahyu dalam membimbing manusia untuk menemukan kebenaran ilmu yang hakiki.

E. Prinsip Pengembangan Ilmu
Pandangan epistemologi al-Qur’ân tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan sangat berbeda dengan epistemologi yang dikembangkan oleh Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya dengan mengandalkan panca indra, akal dan hati saja, maka dalam pandangan Islam (al-Qur’ân) semua alat tersebut harus disertai dengan penyucian batin. Karenanya sering kali al-Qur’ân menegaskan bahwa inna allâh lâ yahdi (sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada...), al-Zhâlimîn, al-Kâfirîn, al-Fâsiqîn, man yuhdil (orang yang disesatkan), man hua kâdzibun kaffâr (pembohong lagi amat ingkar), musrifin kadz-dzâb (pemboros lagi pembohong) dan lain-lain.
Prinsip pengembangan ilmu dalam Islam yaitu: pertama (tauhid), ilmu pengetahuan tidaklah dimanfaatkan melulu pada praksis, tetapi juga dimanfaatkan untuk memahami eksistensi yang hakiki alam dan manusia. Ilmu pengetahuan terus dikembangkan ke arah mana dicapai terus menerus pengertian yang lebih baik bahwa Allah SWT adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Dengan itu, ilmu pengetahuan selalu mengantarkan umat pada peningkatan keimanan (Theo-Antropho)
Prinsip kedua (kesatuan makna kebenaran) akan membebaskan ilmu pengetahuan dari sekularisme. Dengan prinsip ini tidak akan ada lagi istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Yang ada adalah kebenaran tunggal, baik kebenaran ilmiah maupun kebenaran relijius. Prinsip ini akan melahirkan kompromi dan interaksi yang terus menerus antara hasil-hasil ilmu pengetahuan dengan interpretasi kajian syari'ah. Interpretasi syari'ah tentang realitas diuji oleh hasil-hasil ilmu pengetahuan. Demikian pula sebaliknya, hasil ilmu pengetahuan akan diuji oleh hasil kajian syari’ah. Hal ini dikarenakan kebenaran tunggal datang dari Allah SWT.
Prinsip ketiga menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedua sumber ilmu pengetahuan, baik ayat kauniyah maupun ayat qouliyah memiliki posisi yang penting dalam mencapai kebenaran. Prinsip ini menopang prinsip kedua, karena ayat-ayat Allah selalu benar sehingga tidak ada kontradiksi antara keduanya. Jika belum terjadi ketidaksesuaian, maka kesalahan terletak pada manusia dalam memformulasikan ayat kauniyah atau dalam melakukan interpretasi ayat qouliyah. Bukan pada ayat-ayat itu sendiri.
Dari perbedaan kedua prinsip (Barat dan Islam), jelaslah bahwa perbedaannya terletak pada Konsep Illahiyah. Pada prisip pengetahuan modern Tuhan dianggap tidak ada dan manusialah yang menjadi pemeran utamanya. Sedang pada prinsip Islamisasi Iptek maka segalanya bersumber dari Allah dan digunakan pula untuk mendekatkan diri padaNya. Moralitas Iptek yang saat ini mengalami krisis hanya dapat diperbaiki dengan satu kata kunci yaitu BACK TO ISLAM.
Satu ungkapan dari Albert Einstein “Science without religion is blind, and religion without science is lamp” (Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh)

E. Kesimpulan
1. Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (al-Qur’ân dan al-Hadîts), artinya dalam setiap ilmu yang dikembangkan oleh ilmuwan muslim harus dikembalikan kepada kebenaran yang hakiki, transendental, dan qath’i.
2. Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini (dalam perkembangan ilmu) adalah berupaya mengembalikan pijakan epistemologi islam, yang oleh ilmuan barat telah dipisahkan dari yang transendental.
3. Ilmu Islam yaitu ilmu yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan hadîts.
4. Alat yang digunakan untuk memperoleh ilmu adalah indrawi (penglihatan dan pendengaran, juga indra lainnya) yang dilengkapi dengan fu’ad atau kalbu dan penyucian bathin yang dibimbing oleh wahyu.
5. Dalam pengembangannya, ilmu-ilmu yang dikembangkan harus senantiasa “benar” jika tidak terlepas dari konsep Theo-antropho, yaitu benar menurut alam –hukum alam atau ayat-ayat kauniyah- juga harus benar menurut Allah, disinilah peranan wahyu dalam membimbing manusia untuk menemukan kebenaran ilmu yang hakiki.
6. Prinsip pengembangan ilmu dalam Islam yaitu: prinsip tauhid, ilmu pengetahuan harus selalu mengantarkan umat pada peningkatan keimanan (Theo-Antropho), prinsip kesatuan makna kebenaran yang akan membebaskan ilmu pengetahuan dari sekularisme, dan prinsip agar menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Standar Kompetensi Lulusan

SMP/MTs/SMPLB*/Paket B
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Menunjukkan sikap percaya diri
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
10. Mendeskripsi gejala alam dan sosial
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
18. Menghargai adanya perbedaan pendapat
19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana
20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana
21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah

Model-Model Monitoring dan Evaluasi Pengembangan Kurikulum

Oleh: Muhammad Toha

A. Pendahuluan
Banyak metode evaluasi yang bisa digunakan dalam monitoring dan evaluasi yang pada dasarnya dapat diterapkan dalam setiap kegiatan evaluasi program. Secara umum para evaluator program dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pertama, evaluator yang berorientasi pada penguasaan dan penggunaan metode, kedua, evaluator yang berorientasi pada pemecahan masalah dan tujuan evaluasi. Evaluator yang termasuk kelompok pertama biasanya telah menguasai metode evaluasi program, teknik analisis, dan instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Adapun evaluator yang termasuk kelompok kedua tidak terlalu menguasai metode evaluasi melainkan ia melakukan evaluasi dengan premis bahwa pemilihan metode evaluasi program didasarkan atas tujuan yang telah ditentukan.
Terdapat banyak model yang dapat digunakan dalam mengevaluasi program pendidikan (pengembangan kurikulum). Meskipun antara satu dengan lainnya berbeda, tetapi mempunyai maksud yang sama, yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut (follow up) suatu program atau pengembangan.
Evaluasi program dapat menggunakan pendekatan kuantitatif, kualitatif, atau gabungan dari keduanya. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam evaluasi program untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data yang berbetuk angka-angka dengan pengolahan data menggunakan analisis statistik. Pendekatan kualitatif adalah pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang tidak berupa angka-angka, melainkan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang menggambarkan kenyataan atau informasi sebagaimana adanya di lapangan. Sedangkan pendekatan gabungan digunakan dalam evaluasi program untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data yang berbentuk angka-angka dan bukan angka-angka dengan analisis gabungan statistik dan non statistik. Sementara model monitoring dan evaluasi digunakan sebagai acuan dalam bertindak untuk mendapatkan data teresebut. Pada makalah ini akan membahas tentang model monitoring dan evaluasi dalam pengembangan kurikulum.
B. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi tidak sama, tetapi keduanya memerlukan berbagai unsur dan alat yang sama, antara lain adanya sasaran-sasaran program yang jelas, target dan indikator, serta basis data yang mengandung data mutakhir. Sasaran (output, outcome, impact) perlu ditetapkan sejak awal (pada saat perencanaan), begitu pula dengan indikator dan sasaran utama. Monitoring dapat mempermudah kita dalam mengamati terus-menerus trend dan masalah, dan bila perlu melakukan penyesuaian dalam rencana implementasi atau proses pengelolaan secara tepat waktu. Bila dikaitkan dengan sistem monitoring yang kokoh, evaluasi tidak hanya dapat mengidentifikasi hasil-hasil program, tetapi juga dapat menyediakan informasi mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana implementasi program meleset dari rencana semula dan kemudian menyajikan rekomendasi untuk mengatasi masalah itu monitoring dan evaluasi dapat dipakai mengidentifikasi dan mengatasi masalah. Monitoring dan evaluasi juga penting dalam upaya untuk merekam temuan, inovasi, hasil, dan praktik baik, untuk disebarluaskan serta dimanfaatkan pihak dan daerah lain dan juga sebagai dasar untuk “merayakan” keberhasilan. Selain itu, monitoring dan evaluasi merupakan wahana peran serta penerima manfaat program/kegiatan yang sangat efektif bila dilakukan dengan benar.
Meski ada beberapa kesamaan dan keterkaitan antara monitoring dan evaluasi, sebaiknya secara konsepsional hal itu dipahami, dirancang, serta dilaksanakan secara terpisah. Dengan demikian, sebaiknya penggunaan istilah “monev” dihindari karena merancukan antara dua hal yang berbeda. Penggunaan istilah “monitoring (atau pemantauan)” dan “evaluasi” secara terpisah akan membantu menekankan perbedaan proses, tujuan, dan kegunaan masing- masing fungsi atau proses itu.
1. Monitoring
Definisi dan konsep dasar monitoring merupakan fungsi manajemen yang dilakukan pada saat suatu kegiatan sedang berlangsung yang apabila dilakukan oleh seorang pimpinan maka mengandung fungsi pengendalian. Monitoring mencakup antara lain: (a) penelusuran pelaksanaan kegiatan dan keluarannya (outputs), (b) pelaporan tentang kemajuan (c) identifikasi masalah-masalah pengelolaan dan pelaksanaan (Wrihatnolo, Pelatihan Monitoring dan Evaluasi di Surabaya-Presentation Transcript, Online 17 September 2009, tersedia dalam http://www.wrihatnolo.blogspot.com/www.slideshare.net/wrihatnolo). Dalam pengembangan kurikulum, hal yang dimonitoring adalah pelaksanaan dan hasil pengembangan kurikulum tersebut, yang disertai dengan pelaporan kemajuan dan kendala dalam pengembangannya atau pelaksanaannya.
Rencana Monitoring sebaiknya mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1:
Tentukan kegiatan dan keluaran utama yang harus dimonitor, dalam hal ini monitoring dapat difokuskan pada hal-hal seperti metode atau bahan ajar yang telah dikembangkan, sudahkan sekolah atau guru mengembangkan metode dan bahan ajar seperti yang telah ditetapkan, apakah dalam pengembangan tersebut menghasilkan metode dan bahan ajar yang sesuai.
Hal yang perlu diingat adalah jangan berusaha untuk memonitor segala aspek, yang penting memonitor apa yang telah dilakukan, keluaran apa yang dihasilkan, di mana, kapan, oleh siapa, dan untuk siapa. Kemudian, hasil monitoring itu dibandingkan dengan rencana semula, selisih antara rencana dan hasil monitoring dibuat laporannya, dan kemudian sejauh mungkin faktor-faktor penyebab perbedaan itu diidentifikasi.
Tata cara penyimpanan data juga penting untuk mempermudah penyusunan laporan yang akurat dan tepat waktu. Sedapat mungkin sumber data yang telah dikumpulkan secara rutin dimanfaatkan. Ciptakan format pelaporan yang tidak terlalu rumit, dengan sebagian hasilnya disajikan secara visual/grafik.
Langkah 2:
Tentukan pihak mana yang akan melakukan monitoring dan kapan dilakukan. Sebaiknya pihak yang melakukan monitoring yang dimaksud di sini bukan pihak pengelola program langsung, untuk menjaga independensi. Dengan menganut asas partisipatif, wakil-wakil penerima manfaat program/kegiatan sedapat mungkin bersama-sama melakukan monitoring. Mengenai frekuensi, hal ini sebaiknya dilakukan paling tidak setiap enam bulan sekali untuk sebuah program jangka menengah atau jangka panjang.
Langkah 3:
Tentukan siapa saja yang akan menerima laporan hasil monitoring. Sebaiknya laporan hasil monitoring disebarkan tidak hanya pada pihak-pihak pemerintah (eksekutif dan legislatif), tetapi juga pada pihak pelaksana (misalnya: dinas pendidikan, depag, sekolah, guru), instansi pemerintah pusat serta wakil-wakil kelompok penerima manfaat untuk meminta umpan balik. Buatlah pertemuan berkala untuk meninjau kembali tingkat kemajuan serta memutuskan apakah rencana implementasi perlu disesuaikan.
2. Evaluasi
Evaluasi berasal dari kata evaluation yang dapat diartikan sebagai penilaian, atau to find out, deside the amount of value (AS Hornby, 1986). Suchman (1961, dalam Anderson 1975, dan dalam Arikonto dan Cepi Safruddin, 2009) memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan Sanders (dalam dalam Arikonto dan Cepi Safruddin, 2009) yaitu kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Definisi dan konsep dasar evaluasi merupakan fungsi manajemen yang dilakukan setelah kurun waktu tertentu atau setelah suatu kegiatan telah berlalu. Evaluasi ini mencakup kegiatan antara lain: (a) Penilaian atas dampak kolektif—baik positif maupun negatif—dari semua (atau sebagian besar) kegiatan yang telah dilakukan, pada lokasi dan/atau kelompok sasaran yang berbeda-beda. (b) Diskripsi keluaran dan hasil/manfaat sebagaimana dilihat dari sudut pandang penerima manfaat. (Wrihatnolo, Pelatihan Monitoring dan Evaluasi di Surabaya-Presentation Transcript, Online 17 September 2009, tersedia dalam http://www.wrihatnolo.blogspot.com/www.slideshare.net/wrihatnolo)
Mengenai kegiatan yang disebut di atas. Misalnya, evaluasi dapat dilakukan terhadap jumlah siswa yang berhasil dan serta tingkat penurunan angka kegagalan siswa/pembelajaran disebabkan oleh program pengembangan tersebut. Contoh lain, sejauh mana perbaikan sekolah mengakibatkan peningkatkan kehadiran anak di sekolah dan pengurangan jumlah anak usia sekolah yang putus sekolah.
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright dalam Wahidin bahwa: “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum” (Wahidin, Evaluasi Kurikulum, Online 17 September 2009, tersedia dalam http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/31/evaluasi-kurikulum). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria.
Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Stufflebeam dalam Farida (2008: 8) mengembangkan standar evaluasi pendidikan (kurikulum), yaitu:
a. Utility (bermanfaat dan praktis)
b. Accuracy (tepat secara teknik)
c. Feasibility (realistik dan teliti)
d. Proppriety (dilakukan dengan legal dan etik)
Sementara itu, Hilda Taba dalam Wahidin juga menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum meliputi; “objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.” (Wahidin, Evaluasi Program, Online 20 September 2009, tersedia dalam http://www.idonbiu.com/2009/05/evaluasi-kurikulum.html)
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan dilaksanakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Pemikiran Doll yang dikutip oleh Wahidin mengemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.” (Wahidin, Evaluasi Kurikulum, Online 17 September 2009, tersedia dalam http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/31/evaluasi-kurikulum)
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya.
Prosedur Kerja Monitoring dan Evaluasi
VISI & MISI
MONITORING
KURIKULUM PROSES

PENGEMBANGAN OUTPUT

ANALISA EVALUASI
Sumber : MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA, G. M. Adioka, Alit Widiarthini, Anom Murdhana http://dies.unud.ac.id

C. Peranan Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Dalam hal ini, evaluasi menjadi penting dalam pendidikan karena memberi informasi yang dapat dipakai untuk: (1) membuat kebijakan dan keputusan, (2) menilai hasil yang telah dicapai, (3) menilai sebuah kurikulum, (4) memberi kepercayaan kepada sekolah, (5) memonitor dana yang telah dikeluarkan, dan (6) memperbaiki materi dan program pendidikan. (Farida, 2008: 3).
Peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan pada dasarnya minimal berkenaan dengan tiga hal yaitu:
a. Evaluasi sebagai moral judgement, konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai, hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya hal ini mengandung dua pengertian: (1) evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai, dan (2) evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria suatu hasil dapat dinilai
b. Evaluasi dan penentuan keputusan, pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembangan kurikulum. Beberapa diantara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penetuan keputusan. Pada prinsipnya tiap individu tersebut membuat keputusan sesuai dengan posisinya.
c. Evaluasi dan konsesus nilai dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi, para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri dari: orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit, arsitek dan sebagainya. Bagaimana caranya agar mereka terdapat kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus. (Wahidin, Evaluasi Kurikulum, Online 17 September 2009, tersedia dalam http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/31/evaluasi-kurikulum). Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal tradisi tes mental serta eksperimen
Fungsi evaluasi menurut Tyler merupakan evaluasi produk yang bertujuan untuk memperbaiki kurikulum (melalui hasil belajar, sedangkan menurut Cronbach adalah untuk memperbaiki kurikulum dan memberi penghargaan, dan menurut Scriven untuk mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada. Scriven juga membedakan evaluasi kurikulum dalam dua fungsi yakni: 1) formatif yang dilaksanakan apabila kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu dari kurikulum yang sedang dikembangkan, dan 2) sumatif yang dilaksanakan apabila kurikulum telah dianggap selesai pengembangannya (evaluasi terhadap hasil kurikulum). (Evaluasi Kurikulum, Online 24 Desember 2009, tersedia dalam http://pengembangankurikulum.blogspot.com)
D. Model Evaluasi Pengembangan Kurikulum
Model evaluasi ialah model disain evaluasi yang dibuat oleh pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan nama pembuatnya atau tahap pembuatannya (Farida, 2008: 13) maupun sifat kerjanya (Arikunto dan Cepi Syafrudin, 2009: 40). Model-model tersebut dianggap sebagai model standar. Didamping itu, ada juga ahli yang membagi evaluasi berdasarkan misi yang akan dibawakannya serta kepentingan atau penekanannya atau sesuai dengan pendekatan yang digunakannya.
Evaluasi juga dibedakan berdasar metode pelaksanaannya, untuk apa dilaksanakan, dan acuan serta paham yang dianut oleh seorang evaluator (Farida, 2008: 13). Jika dilihat dari segi pelaksanaannya evaluasi diklasifikasikan menjadi tiga macam evaluasi (EVALUASI KURIKULUM, Online, 24 Desember 2009, tersedia dalam http://pengembangankurikulum.blogspot.com/2009/08/evaluasi-kurikulum.html), yaitu:
1. Evaluasi model penelitian
a. Tes psikologi pada umumnya mempunyai dua bentuk yaitu tes intelegensi yang di tujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur prilaku skolastik.
b. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertaman, ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam ekperimen tersebut:
1) Kesulitan administrasi, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen.
2) Masalah teknis dan logis yaitu kesulitan menciptakan suasana kelas yang sama waktu kelompok-kelompok yang diuji.
3) Sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol
4) Adanya keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan
2. Evaluasi model objektif
Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat, perbedaan model objektif ada dalam dua hal:
a. dalam model objektif evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum.
b. kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujan khusus).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif:
a. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
b. Merumuskan tujuan-tujuan dalam perbuatan siswa.
c. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut.
d. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem intruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruction). Suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research and Develovment Centre Universitas Pittsburg yang menuntu anak agar mengikuti kurikulum yang memiliki tujuh unsur:
a. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkat-tingkat, dan unit-unit.
b. Suatu prosedur program testing.
c. Pedoman prosedur penulisan.
d. Materi dan alat pengajaran.
e. Kegiatan guru dalam kelas.
f. Kegiatan murid dalam kelas.
g. Prosedur pengelolaan kelas.
3. Evaluasi model campuran multivariasi.
Evaluasi model pendekatan perbandingan (comparative approach), model Tylor serta Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Metode-metode tersebut masuk ke dalam bidang kurikulum setelah komputer dan program paket berkembang tahun 1960. Program paket berisi program statistik yang sederhana yang tidak membutuhkan pengetahuan komputer untuk menggunakannya. Dengan berkembangnya penggunaan komputer memungkinkan studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah pegolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer.
Langkah-langkah model multivariasi tersebut adalah :
a. Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti.
b. Pelaksanaan program.
c. Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsur dapat disiapkan tes tambahan.
d. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan komputer.
e. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dan beberapa variable yang berbeda.
Beberapa kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini, yaitu:
a. Diharapkan memberi tes statistik yang signifikan (model kurikulum ini lebih sesuai bagi evaluasi skala besar.
b. Terlalu banyak variabel yang perlu dihitung pada suatu saat kemampuan komputer hanya sampai 40 variabel
c. Meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah perbandingan.
Sedangkan jika evaluasi kurikulum yang dilaksanakan dilihat dari dimensi komponen pengembangan kurikulum maka secara garis besar dapat digolongkan ke dalam empat rumpun model evaluasi kurikulum (R. Ibrahim dalam Rusman, 2009: 114-118), yaitu: 1) Measurement, 2) Congruence, 3) Illumination, dan 4) Educational System Evaluation.
1. Measurement
Evaluasi pada dasarnya merupakan pengukuran tingkah laku siswa yang hasilnya bisa digunakan untuk seleksi dan klasifikasi siswa, bimbingan pendidikan, dan perbandingan kefektifan antara dua atau lebih program atau metode pendidikan serta pada penelitian pendidikan. Objek evaluasi pada measurement dititikberatkan pada hasil belajar terutama pada aspek yang bersifat objektif dan dapat diukur dan dibakukan sehingga jenis data yang dikumpulkan berupa objektif.
Pendekatan yang digunakan dalam model ini lebih:
a. menempatkan siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.
b. membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok menggunakan program yang berbeda dengan analisis kuantitatif (objektif).
c. teknik evaluasi yang digunakan dalam bentuk tek objektif. (Rusman, 2009: 114)
Konsep model measurement mementingkan objektivitas dalam kerangka mengembangkan kurikulum, namun ada kelemahan pada model ini yaitu: evaluasi dibatasi pada titik tertentu dari pendidikan yang “dapat diukur” saja, padahal ada hasil pendidikan yang tidak serta merta dapat diukur setelah proses berakhir.
Aspek pengukuran memeng penting dalam evaluasi, tetapi tidak dimaksudkan untuk menggantikan proses evaluasi. Pengukuran bukanlah evaluasi namun demikian pengukuran dapat memberikan data yang sangat berguna dalam evaluasi. Peranan yang diharapkan dari dilaksanakannya evaluasi adalah masukan guna penyempurnaan program kurikulum dalam setiap tahap menjadi kurang terpenuhi karena dibatasi pada hasil belajar saja.
2. Congruence
Kesesuaian antara tujuan yang telah direncanakan dengan hasil yang telah dicapai merupakan tujuan lain dari sebuah evaluasi. Untuk dapat melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Sehingga hasil evaluasi diperlukan dalam kerangka penyempurnaan program, bimbingan, dan pemberian informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan. Objeknya dititikberatkan pada hasil belajar dalam bentuk pengetahuan (objektif), psikomotorik, maupun nilai atau sikap siswa. Cara-cara yang dilakukan dalam kegiatan evaluasi model ini adalah:
a. menggunakan prosedur pre-and post-assesment dengan langkah pokoknya: penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi, dan penggunaan hasil evaluasi.
b. analisis hasil evaluasi dilaksanakan secara bagian demi bagian.
c. teknik evaluasi mencakup tes dan teknik evaluasi lainnya yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
d. kurang menyetujui evaluasi perbandingan antara dua atau lebih program.
Keterhubungan antara kegiatan evaluasi dengan tujuan dalam kerangka mengkaji efektivitas kurikulum yang sedang dikembangkan menjadi dasar pemikiran model congruence, dengan kata lain model ini memperlihatkan adanya integrasi yang tinggi dengan proses pengajaran. Hal ini akan memberikan informasi yang tapat bagi pengembang kurikulum tentang tujuan mana yang tercapai dan mana yang belum.
Kelemahannya ada pada ruang lingkup evaluasi yang tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek langsungnya karena yang menjadi fokusnya adalah kesesuaian antara tujuan dengan hasil, sehingga faktor penting antara tujuan dan hasil (yaitu input dan proses) kurang mendapat perhatian. ditambah lagi dengan pelaksanaan evaluasi ini dilakukan setelah kurikulum selesai dilaksanakan dengan cara membandingkan antara tes awal dengan tes akhir.
Sebagai konsekuansinya hasil yang diperoleh tidak dapat membantu pengembang mencari dan menentukan bagian mana yang masih lemah dan cara mengatasinya karena hanya memberikan informasi tujuan yang belum dan sudah dicapai saja. Nemun demikian, ada beberapa sumbangan yang diberikan model ini, yaitu (Rusman, 2009: 116):
a. menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai kriteria perbandingan.
b. memperkenalkan sistem pengolahan hasil evaluasi secara bagian demi bagian yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembang kurikulum.
3. Illumination
Evaluasi pada prinsipnya juga adalah studi tentang pelaksanaan program, pengaruh faktor lingkungan, kebaikan dan kelemahan program, serta pengaruh program terhadap perkembangan hasil belajar. Evaluasi yang didasarkan pada pertimbangan yang hasilnya diperlukan dalam penyempurnaan sebuah program. Objeknya mencakup latar belakang dan pengembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar, dan kesulitan yang ditemui, sehingga jenis data yang diperlukan bersifat subjektif. Cara yang ditempuh dalam pelaksanannya adalah (Rusman, 2009: 116):
a. menggunakan prosedur yang disebut progressive focussing dengan langkah-langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, analisis sebab akibat.
b. bersifat kualitatif-terbuka dan fleksibel-eklektif.
c. teknik evaluasi mencakup observasi, wawancara, angket, analisis dokumen dan bila perlu mencakup pula tes.
Konsep model illumination menekankan pentingnya evaluasi yang berkelanjutan selama proses pelaksanaan kurikulum, hal ini sebagai reaksi terhadap dua model terdahulu yang bersifat ‘terminal’. Model ini menjadi penting bagi pengembang karena memperoleh informasi yang terpadu sebagai modal dalam mengoreksi dan menyempurnakan kurikulum serta jarak waktu antara proses pengumpulan data dengan hasil evaluasi yang singkat memungkinkan informasi yang diperoleh dapat digunakan tepat waktu.
Ada tiga kelemahan model ini, yaitu: pertama, evaluasi tidak didahului perumusan kriteria yang jelas sehingga beberapa aspek yang penting dalam pengembangan kurikulum terabaikan karena evaluator hanya melihat hal-hal yang menarik saja, kedua, karena bersifat subjektif sehingga objektivitas evaluasi tidak menjadi hal yang utama dan cenderung menggunakan alat evaluasi yang tidak spesifik/terstruktur, ketiga, evaluasi terhadap bahan kurikulum tidak dipentingkan selama disusun dalam tahap perencanaan karena model ini berorientasi pada hasil yang dicapai kurikulum yang bersangkutan (Rusman, 2009: 117).
4. Educational System Evaluation.
Dalam konsep model ini, evaluasi pada dasarnya adalah perbadingan antara tampilan setiap dimensi program dan kriteria yang berujung pada penggambaran (deskripsi) dan judgement. Hasil evaluasi digunakan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan hasil program secara keseluruhan. Fokus evaluasi meliputi masukan (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil yang dicapai. Langkah yang ditempuh dalam model ini adalah (Rusman, 2009: 117):
a. membandingkan performance (tampilan) setiap dimensi program dengan kriteria internal.
b. membandingkan performance (tampilan) program dengan menggunakan kriteria eksternal, yaitu performance program yang lain.
c. tenik evaluasi mencakup tes, observasi, wawancara, angket, dan analisis dokumen.
Konsep model ini banyak memberikan segi positif bagi kepentingan proses pengambangan kurikulum. Penekanan pada kriteria memberikan arahan yang jelas untuk menghasilkan informasi yang diperlukan bagi pengembangan kurikulum yang menunjukkan ada tidaknya kesenjangan dalam kurikulum.
Semua dimensi program pengembangan kurikulum mulai dari input, proses, dan output tidak lepas dari evaluasi model ini. Hal ini penting agar penyempurnaan kurikulum dapat dilakukan pada tiap tahap sehingga kelemahan yang terjadi pada satu tahap tertentu tidak berlanjut pada tahap berikutnya.
Ada dua persolan yang perlu mendapat perhatian dalam model ini, yaitu: Pertama, segi teknis yang berkenaan dengan prosedur yang ditempuh dalam membadingkan hasil antara kurikulum yang baru dengan kurikulum yang ada, karena berdasarkan studi terdahulu menyimpulkan bahwa ‘tidak ada perbedaan yang berarti’ dalam perbandingan tersebut.
Kedua, segi strategis yang berkenaan dengan keberadaan kurikulum baru jika perbandingan yang dilakukan memberikan informasi bahwa ‘tidak ada perbedaan yang berarti’ sehingga apakah kurikulum baru ditarik dan tidak digunakan atau digunakan saja. Namum secara keseluruhan konsep ini sesuai dengan pernanan evaluasi dalam proses pengembangan kurikulum dan dapat mengatasi kelemahan yang terdapat dalam tiga konsep terdahulu.
Jika pengembangan kurikulum merupakan sebuah program maka beberapa model evaluasi yang dapat digunakan antara lain (Iis Prastyo, Model-Model Monitoring dan Evaluasi, Online 19 Nopember 2009, tersedia dalam http://iisprasetyo.imadiklus.com/?p=12, Muhammad Ali Gunawan, Evaluasi Program, Online 19 Nopember 2009, tersedia dalam http://www.forumpenelitian.blogspot.com):
1. Model Evaluasi CIPP; Stuflebeam (1969, 1972) mengusulkan pendekatan yang berorientasi kepada pemegang keputusan untuk menolong administrator membuat keputusan. Ia merumuskan evaluasi sebagai suatu proses menggambarkan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Model ini membagi evaluasi menjadi empat macam, yaitu: context evaluation to serve planning decision, input evaluation, process evaluation, dan product evaluation.
Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Menurut model ini keempat dimensi program (Context, Input, Process dan Product) tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut:
a. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti: kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya. Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan (Baline R. Worthern & James R Sanders: 1979) Karenanya upaya yang dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal).
b. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti: dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya. Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program.
c. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain. Evaluasi proses (process evaluation) diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah program telah disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan program tersebut.
d. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang. Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari model CIPP. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan capaian-capaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi kembali atau bahkan akan dihentikan
2. Model Evaluasi UCLA; Alkin (1969) menulis kerangka kerja evaluasi yang hampir sama dengan model CIPP. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Ada lima macam evaluasi, yaitu: sistem assessment, program planning, program implementation, program improvement, dan program certification.
3. Model Brinkerhoff; setiap desain evaluasi umumnya terdiri atas elemen-elemen yang sama, ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli atau evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & Cs (1983) mengemukaka tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan pengabungan elemen-elemen yang sama seperti evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut: Fixed vs Emergent Evaluation, Formative vs Summative Evaluation, Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive Inquiry.
4. Discrepancy Model (Model Kesenjangan), langkah yang dikembangkan dalam model ini adalah:
a. Mengidentifikasi adanya kesenjangan dengan cara membandingkan antara kondisi saat ini dengan indikator kinerja (kondisi yang diharapkan)
b. Mencari hubungan antara dua variabel atau lebih agar tampak keterkaitan/kecenderungan antara variabel-variabel tersebut
c. Mengkontraskan variabel-variabel tersebut agar tampak perbedaan yang signifikan antara variabel-variabel yang memiliki masalah yang berarti
5. Countenance Model. Model ini dikembangkan oleh Stake yang menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok yaitu: 1) deskripsi dan 2) pertimbangan (judgment), serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program yaitu: 1) anteseden (context), 2) transaksi (proses), dan 3) keluaran (output-outcome).



E. Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari uraian terdahulu adalah:
1. Konsep dasar monitoring yang merupakan fungsi manajemen yang dilakukan ketika kegiatan sedang berlangsung yang berfungisi sebgai pengendalian jika dilakukan oleh seorang pimpinan. Monitoring mencakup antara lain: (a) penelusuran pelaksanaan kegiatan dan keluarannya (outputs), (b) pelaporan tentang kemajuan (c) identifikasi masalah-masalah pengelolaan dan pelaksanaan
2. Langkah-langkah kegiatan moditoring, yaitu: menetukan kegiatan dan output yang harus dimonitor, siapa yang melakukan, dan siapa yang menerima laporan hasil monitoring.
3. Evaluasi dipandang sebagai proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain yaitu kegiatan mencarai sesuatu yang berharga tentang sesuatu; juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai suatu program, produksi, prosedur, serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
4. Konsep utama evaluasi yang merupakan fungsi manajemen yang dilakukan setelah kurun waktu tertentu atau setelah suatu kegiatan telah berlalu. Evaluasi ini mencakup kegiatan antara lain: (a) Penilaian atas dampak kolektif—baik positif maupun negatif—dari semua (atau sebagian besar) kegiatan yang telah dilakukan, pada lokasi dan/atau kelompok sasaran yang berbeda-beda. (b) Diskripsi keluaran dan hasil/manfaat sebagaimana dilihat dari sudut pandang penerima manfaat.
5. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Empat standar evaluasi menurut Stufflebeam, yaitu: a) Utility (bermanfaat dan praktis), b) Accuracy (tepat secara teknik), c) Feasibility (realistik dan teliti), dan d) Proppriety (dilakukan dengan legal dan etik)
6. Hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum menurut Hilda Taba yaitu: Sasaran, ruang lingkupnya, mutu personil yang melaksanakan, kemampuan siswa, pentingnya berbagai materi yang terkait, tingkatan sasaran hasil yang diterapkan, material dan peralatan dan sebagainya
7. Informasi yang diperoleh dalam evaluasi kurikulum dipakai untuk: (a) membuat kebijakan dan keputusan, (b) menilai hasil yang telah dicapai, (c) menilai sebuah kurikulum, (d) memberi kepercayaan kepada sekolah, (e) memonitor dana yang telah dikeluarkan, dan (f) memperbaiki materi dan program pendidikan.
8. Fungsi evaluasi menurut Tyler merupakan evaluasi produk yang bertujuan untuk memperbaiki kurikulum (melalui hasil belajar), sedangkan menurut Cronbach adalah untuk memperbaiki kurikulum dan memberi penghargaan, dan menurut Scriven untuk mengurangi kekurangan-kekurangan yang ada
9. Berdasarkan cara pelaksanaan evaluasi pengembangan kurikulum dikenal tiga model, yaitu: model penelitian, model objektif, dan model multivariasi.
10. Berdasarkan dimensi komponen pengembangan kurikulum yang dilaksnakan maka ada empat rumpun model evaluasi yang dilaksanakan, yaitu: 1) Measurement, 2) Congruence, 3) Illumination, dan 4) Educational System Evaluation.
11. Model evaluasi program pengembangan kurikulum yang bisa diterapkan adalah: CIPP Evaluation Model, UCLA Evaluation Model, Model Brinkerhoff, Discrepancy Model, Countenance Evaluation Model.

Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Klinis

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI SUPERVISOR KLINIS

Oleh: Muhammad Toha

A. Pendahuluan

Kepala sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pimpinan (manajer), edukator, innovator, dan motivator saja, akan tetapi ia juga berfungsi seabgai supervisor. Adapun fungsinya sebagai supervisor pendidikan, kepala sekolah harus pandai meneliti, mencari dan menentukan syarat-syarat mana saja yang diperlukan bagi kemajuan sekolah sehingga tujuan-tujuan pendidikan di sekolah semaksimal mungkin dapat tercapai (Ngalim Purwanto, 2005:115). Dalam kaitannya dengan fungsi ini, secara khusus kepala sekolah mempunyai fungsi sebagai supervisor pengajaran dan supervisor klinis (Ngalim Purwanto, 2005:94 dan 118).

Sebagai supervisor klinis, kepala sekolah memiliki tanggungjawab untuk mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi di dalam proses pembelajaran, dan secara langsung pula berusaha mencari solusi bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut (Ngalim Purwanto, 2005:90). Dalam hal ini, kepala sekolah bersama-sama dengan guru mendiagnosis faktor-faktor penyebab yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kesulitan, kelemahan atau kekurangan di dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah ini memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kinerja guru-guru sebagai pengajar, pembimbing dan administrator di kelas. Pelaksanaan fungsi supervisi secara periodik dan efektif dengan tetap menjaga hubungan emosional dan harmonis antara kepala sekolah sebagai supervisor dan guru-guru sebagai pihak yang disupervisi, akan memacu mereka untuk bekerja lebih baik dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.

Konklusi logis dari pernyataan tersebut bahwa ketika fungsi supervisi dijalankan secara baik oleh kepala sekolah dan berjalan dengan efektif maka akan memberikan kontribusi positif terhadap produktivitas kinerja guru, dan produktivitas kinerja guru dapat berpengaruh positif pula terhadap pencapaian mutu pembelajaran.

B. Pengertian

1. Pengertian Supervisi

Istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others” sedangkan kata vision berarti “the ability to perceive something not actually visible, as through mental acuteness or keen foresight. Menurut S. Wajowasito dan W.J.S Poerwadarminta yang dikutip HB. Suparlan (dalam Supervisi kolegial dalam penyusunan renstra sekolah, Online 12 Desember 2009 tersedia dalam http://www.p4tkpknips.org): “Supervisi dialih bahasakan dari perkataan inggris “Supervision” artinya pengawasan. Supervisi dilihat dari bentuk perkataannya, supervisi terdiri dari dua buah kata super ditambah vision: Super = atas, lebih, Vision = lihat, tilik, awasi. Makna yang terkandung dari pengertian tersebut, bahwa seorang supervisor mempunyai kedudukan atau posisi lebih dari orang yang disupervisi, tugasnya adalah melihat, menilik atau mengawasi orang-orang yang disupervisi.

Menurut Sergiovanni (1982:10) Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggungjawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu. Jadi supervisi itu itu bukan peranan, tapi merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi disekolah yang digunakan oleh personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha mencari tujuan pendidikan.

Kimball Wiles (1967: 5 dan 9) mendefinsikan supervisi sebagai berikut: “Supervision is a service activity that exists to help teachers do their job better….The supervisor’s function is to help teachers release their full potential….Supervision is assistance in improvement.”. Supervisor adalah seorang yang profesional dan dalam menjalankan tugasnya, ia bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk melakukan tugasnya diperlukan kelebihan yang dapat melihat dengan tajam terhadap permasalahan peningkatan mutu pendidikan, menggunakan kepekaan untuk memahaminya dan tidak hanya sekedar menggunakan penglihatan mata biasa. Ia membina peningkatan mutu akademik melalui penciptaan situasi belajar yang lebih baik, baik dalam hal fisik maupun lingkungan non fisik.

Ahli administrasi pendidikan sepakat bahwa supervisi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang pengkajiannya dititikberatkan pada peningkatan situasi belajar-mengajar. Hal ini diungkapkan dalam tulisan Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika (Association for Supervision and Curriculum Development, 1987:129 dalam HB. Suparlan, Supervisi kolegial dalam penyusunan rencana pembelajaran sekolah, Online 12 Desember 2009 tersedia dalam http://www.p4tkpknips.org) yang menyatakan “Almost all writers agree that the primary focus in educational supervision is-and should be-the improvement of teaching and learning. The term instructional supervision is widely used in the literature of embody all effort to those ends. Some writers use the term instructional supervision synonymously with general supervision.”

Dalam konteks pengawasan mutu pendidikan, maka supervisi oleh pengawas satuan pendidikan antara lain kegiatannya berupa pengamatan secara intensif terhadap proses pembelajaran pada lembaga pendidikan, kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian feed back. Hal ini sejalan pula dengan pandangan L. Drake (1980: 278 dalam Iim Ali Imran, Kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah dalam Supervisi Pendidikan, Online 18 Desember 2009, tersedia dalam http://iimrsch.wordpress.com) yang menyebutkan bahwa supervisi adalah suatu istilah yang sophisticated, sebab hal ini memiliki arti yang luas, yakni identik dengan proses manajemen, administrasi, evaluasi dan akuntabilitas atau berbagai aktivitas serta kreatifitas yang berhubungan dengan pengelolaan kelembagaan pada lingkungan kelembagaan setingkat sekolah.

Rifa’i (1992: 20 dalam Sahertian, 2008: 7) merumuskan istilah supervisi merupakan pengawasan profesional, sebab hal ini di samping bersifat lebih spesifik juga melakukan pengamatan terhadap kegiatan akademik yang mendasarkan pada kemampuan ilmiah, dan pendekatannyapun bukan lagi pengawasan manajemen biasa, tetapi lebih bersifat menuntut kemampuan profesional yang demokratis dan humanistik oleh para pengawas pendidikan.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, maka yang dimaksud dengan pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, dan sekolah menengah.

2. Pengertian Supervisi Klinis

Istilah klinis (clinical) mengandung maksud bahwa dalam pelaksanaan supervisi hubungan berlangsung secara tatap muka (face to face) antara guru dengan supervisor dan difokuskan pada perilaku actual guru di depan kelas. Kata klinis juga mengandung arti berkenaan dengan penyakit (pathology) (Jayadi, 2002: 70-71). Memang konotasi tersebut tidak sepenuhnya tepat. Seorang supervisor dalam melaksanakan layanan supervisi klinis, ibarat seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya. Didahului dengan datangnya pasien, kemudian dokter menanyakan keluhan apa saja yang dirasakan untuk mengetahui sebab-sebab dan jenis penyakit yang diderita, kemudian setelah mendapatkan kepastian dari proses diagnosis baru dokter memberikan obatnya. Hal yang terpenting dari analogi dengan pengobatan penyakit adalah bahwa supervisi klinis menghendaki inisiatif datang dari guru, untuk penyembuhan suatu aspek tertentu yang jelas, dan memang sangat dibutuhkan oleh guru itu sendiri. Tekanan pokok supervisi klinis adalah pengembangan profesionalisme guru, ia merupakan supervisi untuk membantu guru meningkatkan performa pengajarannya. Pernyataan ini sebagaimana dikemukakan oleh Keith A. Acheson dan Meredith Damien Gall (1987:11) sebagai berikut.

“Clinical” is meant to suggest a face-to-face relationship between teacher and supervisor and a focus on the teacher’s actual behavior in the classroom….The word “clinical” can also connote pathology, a connotation that should not be applied to the model of teacher supervision presented here. We certainly do not wish you to think that clinical supervision is always a “remedy” applied by the supervisor to deficient or unhealthy behavior exhibited by the teacher....Clinical supervision acknowledges the need for teacher evaluation, under the condition that the teacher participates with the supervisor in the process. The primary emphasis of clinical supervision is on professional development, however. It is supervision to help the teacher improve his or her instructional performance.

Richard Weller dalam Keith A. Acheson (1987:13) mendefinisikan supervisi klinis sebagai berikut: “Clinical supervision may be defined as supervision focused upon the improvement of instruction by means of systematic cycles of planning, observation, and intensive intellectual analysis of actual teaching performances in the interest of rational modification”. Menurutnya, supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional.

Sedangkan John J. Bolla dalam Ngalim Purwanto (2005:91) mendefinisikan supervisi klinis sebagai: “suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut”.

Supervisor dalam melakukan proses supervisi klinisnya memulai dengan menyelenggarakan pertemuan bersama guru. Dalam pertemuan itu guru mempunyai keesempatan untuk menentukan perhatian, kebutuhan dan aspirasi pribadinya. Peranan supervisor di sini adalah membantu guru menjernihkan persepsi-persepsi ini sehingga mereka mempunyai gambaran yang jelas tentang pembelajaran mutakhir, pandangan tentang pembelajaran yang ideal. Lalu supervisor dan guru mencari teknik-teknik baru yang mungkin dapat dicobakan agar pembelajaran ke depan lebih ideal. (Acheson dan Gall 1987:11)

Keith A. Acheson sendiri cenderung mengistilahkan supervisi klinis dengan sebutan Teacher Centered Supervision (supervisi yang terpusat pada guru) untuk maksud bahwa dalam supervisi klinis guru adalah orang yang secara proaktif menyampaikan inisiatifnya tentang problem-problem pembelajaran yang dialami kepada supervisor, selanjutnya dicarikan solusi yang terbaik atas masalah-masalah tersebut. (Acheson dan Gall 1987:10-11)

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa inti supervisi klinis ialah proses pembimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionaisme guru dengan menekankan pada penampilan mengajar, melalui prosedur yang sistematis dimulai dari pertemuan pendahuluan, observasi kelas, dan peretemuan balikan, data dianalisis secara cermat, teliti dan objektif guna mendapatkan perubahan tingkah laku mengajar yang diharapkan.

C. Tujuan supervisi klinis

Pertemuan pendahuluan, observasi ruang kelas, dan pertemuan umpan balik (feedback) merupakan kegiatan-kegiatan utama supervisi klinis. Tujuan pokok dari kegiatan-kegiatan ini adalah perbaikan pengajaran guru di kelas. Dalam hal ini supervisi klinis merupakan sebuah teknik kunci untuk menaikkan atau meningkatkan pertumbuhan professional guru.

Menurut Keith A. Acheson dan Gall (1987:15-16), tujuan supervisi klinis dapat diuraikan ke dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran secara objektif kepada guru mengenai penampilan mengajar yang senyatanya. Supervisi klinis dapat diibaratkan sebuah cermin bagi para guru sehingga mereka dapat melihat kondisi yang senyatanya mengenai penampilan mengajarnya di kelas.

2. Mendiagnosis dan memecahkan permasalahan pengajaran. Supervisi klinis menggunakan teknik pertemuan dan catatan observasi dalam membantu guru melihat ketidaksesuaian/penyimpangan dari yang seharusnya (penampilan mengajar ideal). Pada akhirnya guru diharapkan dapat melakukan diagnosis sendiri tentang ketidaksesuaian perilaku mengajarnya tanpa harus dibantu supervisor. Namun hal ini bukan berarti sudah tidak membutuhkan lagi bantuan supervisor, pada saat dan aspek tertentu tetap memerlukan campur tangan supervisor.

3. Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam hal strategi mengajar yang dipakainya. Supervisi klinis bukan sekedar membantu guru memecahkan dengan segera permasalahan dan ketimpangan yang dialami dalam mengajar, akan tetapi lebih dari itu, yakni dengan pendekatan supervisi klinis diharapkan guru dapat mengembangkan secara terus menerus pola-pola perilaku mengajar, atau yang disebut strategi pengajaran. Untuk mencapai tujuan ini tentu sangat memerlukan kemahiran dan kecakapan supervisor serta kiat-kiat khusus dalam menyelenggarakan layanan supervisi klinis.

4. Mengevaluasi guru untuk promosi, kenaikan jabatan, atau untuk keputusan lain. Tujuan ini terkesan sangat controversial dengan fungsi supervisi klinis. Dan mungkin ada sebagaian supervisor yang menolaknya sebagai tujuan supervisi klinis. Dalam praktek di lapangan boleh saja terjadi, supervisor mengevaluasi kemampuan guru. Karena memang supervisi klinis yang penekanannya pada pengembangan profesiuonalisme guru atas dasar data objektif yang dikumpulkan melalui observasi kelas secara sistematis pada hakikatnya adalah kegiatan mengevaluasi kemampuan guru.

5. Membantu guru mengembangkan sikap positif dalam pengembangan profesionalisme secara berkesinambungan. Melalui supervisi klinis diharapkan dapat membantu guru untuk menyadari dan tumbuh kemauan untuk melatih diri secara terus menerus tanpa akhir (selama masih dinas).

Dengan demikian jelas bahwa pada prinsipnya, tujuan pokok supervisi klinis adalah meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dengan memfokuskan pada perbaikan penampilan guru mengajar di kelas.

D. Ciri-ciri supervisi klinis

Menurut La Sulo sebagai dikutip Ngalim Purwanto (2005:91) mengemukakan ciri-ciri supervisi klinis ditinjau dari segi pelaksanaannya sebagai berikut:

  1. Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi;
  2. Jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor;
  3. Meskipun guru mempergunakan berbagai keterampilan mengajar secara terintegrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan saja;
  4. Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dan guru berdasarkan kontrak;
  5. Balikan diberikan dengan segera dan secara objektif (sesuai dengan data yang direkam oleh instrument observasi);
  6. Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasi data yang direkam oleh instrument observasi, di dalam diskusi atau pertemuan balikan guru terlebih dahulu diminta menganalisis penampilannya;
  7. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan;
  8. Supervisi berlangsung dalam suasana intim dan terbuka;
  9. Supervisi berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi dan diskusi/pertemuan balikan;
  10. Supervisi klinis dapat dipergunakan untuk pembentukan atau peningkatan dan pervaikan keterampilan mengajar; di pihak lain dipakai dalam konteks pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan.

Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui dan dibedakan antara supervisi pengajaran dan supervisi klinis. Supervisi pengajaran lebih menekankan pada pengawasan dari supervisor terhadap guru-guru tentang pengelolaan pembelajaran yang dikelolanya. Sedangkan supervisi klinis lebih menekankan pada inisiatif guru untuk menyampaikan problem-problem pengajaran yang dihadapinya untuk disampaikan kepada supervisor, dan selanjutnya dicarikan solusi terbaiknya. Persamaannya adalah bahwa baik dalam supervisi pengajaran maupun dalam supervisi klinis dituntut adanya kooperasi atau kerja sama yang harmonis antara supervisor dengan guru itu sendiri, guru tidak boleh masa bodoh.

E. Prinsip dan prosedur supervisi klinis

Dalam melaksanakan supervisi klinis terdapat beberapa prinsip umum yang harus dijadikan patokan oleh supervisor dalam melaksanakan kegiatannya. Menurut Acheson (1987:10) ada tiga prinsip umum yang harus menjiwai tindakan atau keputusan supervisor, yaitu interaktif bukan directif, demokratis bukan otoritatif, dan berpusat pada guru bukan pada supervisor. Sedangkan menurut Nurtain dalam Jayadi (2002:74-75), prinsip-prinsip supervisi klinis itu adalah sebagai berikut:

1. Terpusat pada guru ketimbang supervisor. Prinsip ini menekankan prakarsa dan tanggung jawab meningkatkan keterampilan mengajar dan menganalisis serta mencari cara meningkatkan keterampilan mengajar tersebut sangat berkaitan/disesuaikan dengan kebutuhan guru yang bersangkutan;

2. Hubungan guru dengan supervisor lebih interaktif ketimbang direktif. Prinsip ini menekankan bahwa antara supervisor dan guru pada hakikatnya sederajat dan saling membantu dalam meningkatkan kemampuan dan sikap profesionalnya;

3. Demokratif ketimbang otoritatif. Prinsip ini menekankan kedua belah pihak harus bersifat terbuka, dalam arti masing-masing pihak mempunyai hak mengemukakan pendapat secara bebas, namun masing-masing juga berkewajiban mempertimbangkan pendapat pihak lain dalam rangka mencapai kesepakatan;

4. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru. Prinsip ini mengandung arti bahwa kebutuhan mendapatkan layanan supervisi itu bersumber dan dirasakan manfaatnya oleh guru. Kebutuhan dan aspirasi guru tidak terlepas dari kawasan penampilan guru di depan kelas;

5. Umpan balik dari proses belajar mengajar guru diberikan dengan segera dan hasil atau kesimpulannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama;

6. Layananan supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional guru; dan

7. Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pengajaran hanya memfokuskan pada beberapa keterampilan saja. Meskipun keterampilan mengajar dapat digunakan secara integrative, tetapi untuk peningkatan keterampilan tertentu dapat dilakukan secara terisolasi agar mudah dikontrol dan diamati.

Supervisor (termasuk kepala sekolah) dalam melaksanakan kegiatan supervisi klinisnya harus mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut di atas agar hasil yang dicapainya itu optimal. Bila prinsip-prinsip itu tidak dihiraukan oleh supervisor, maka bisa jadi penyelesaian masalah yang dihadapi guru yang berhubungan dengan pengelolaan pembelajaran atau pengajaran tidak mencapai titik temu. Dengan kata lain, masalah tinggallah masalah tanpa ada penyelesaian yang tuntas.

Adapun prosedur pelaksanaan supervisi klinis adalah dengan mengikuti tiga tahapan, sebagaimana dikemukakan oleh Acheson (1987:13): “In brief, clinical supervision is a model of supervision that contains three phases: planning conference, classroom observation, and feedback conference. The most distinctive features of clinical supervision are its emphases on direct teacher-supervisor interaction and the teacher’s professional development” Artinya, supervisi klinis dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan balikan. Hal yang paling membedakan supervisi klinis adalah penekanannya pada interaksi langsung guru-supervisor dan pengembangan professional guru. Tahap pertemuan pendahuluan dimaksudkan sebagai langkah inventarisir masalah yang dihadapi guru; tahap observasi kelas dimaksudkan sebagai tahap untuk melihat secara real pembelajaran yang terjadi di dalam kelas; sedangkan tahap pertemuan balikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan yang kedua tadi.

Gambar 1.

Siklus Supervisi Klinis

Tahap pertemuan pendahuluan (tahap pertama); Pada tahap ini yang terpenting untuk diperhatikan, terutama oleh supervisor, adalah harus dapat menciptakan suasana yang akrab, terbuka dan penuh persahabatan. Jadi yang terjalin adalah hubungan kolegial dalam suasana kerjasama yang harmonis. Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat.

Menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:77), secara teknis diperlukan lima langkah dalam pelaksanaan pertemuan pendahuluan yang meliputi:

1. Menciptakan suasana yang akrab antara supervisor dengan guru;

2. Melakukan kajian ulang rencana pembelajaran (tujuan, bahan, kegiatan, dan evaluasinya) yang telah dibuat oleh guru;

3. Mengidentifikasi komponen keterampilan (beserta indikatornya) yang akan diobservasi;

4. Memilih atau mengembangkan instrument observasi yang akan digunakan;

5. Mendiskusikan bersama untuk mendapatkan kesepakatan tentang instrument observasi yang dipilih atau dikembangkan

Dengan demikian, pada tahap pertemuan pendahuluan supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Bagi guru maupun supervisor, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi kemampuan atau keterampilan mana yang memerlukan perbaikan. Keterampilan yang dipilih dan disepakati kemudian dioperasionalkan dalam bentuk rumusan tingkah laku yang dapat diamati dan dirumukan pula deskriptornya untuk kepentingan pencatatan data dan memberikan penafsiran (penilaian).

Tahap observasi kelas (tahap kedua); pada tahap ini guru mengajar atau melakukan latihan mengenai tingkah laku mengajar yang telah dipilih dan disepakati bersama pada tahap pertemuan pendahuluan. Ketika guru praktik/berlatih, supervisor mengadakan observasi dengan menggunakan alat perekam yang juga telah disepakati bersama. Aspek-aspek yang diamati adalah segala hal yang telah disepakati yang tercantum dalam instrument yang juga telah disetujui bersama dalam pertemuan pendahuluan.

Fungsi utama observasi kelas adalah untuk menangkap apa yang terjadi selama proses pengajaran berlangsung secara lengkap agar supervisor dan guru dapat dengan tepat mengingat kembali proses pengajaran dengan tujuan agar analisis dapat dibuat secara objektif. Ide pokok dalam observasi ini adalah mencakup apa yang terjadi sehingga dengan catatan yang dibuat dengan cermat dan lengkap serta kemudian tersimpan dengan baik, dapat bermanfaat untuk kepentingan analisis dan komentar (Jayadi, 2002:77).

Menurut Nurtain dalam Jayadi (2002:77-78), ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh supervisor dalam melaksanakan observasi ini, yaitu “kelengkapan catatan, focus, mencatat komentar, pola, dan membuat guru tidak merasa gelisah.” Hasil catatan observasi akan merupakan bukti-bukti atau data bagi supervisor atau guru untuk dikaji bersama dalam menganalisis apa yang terjadi selama proses pengajaran. “Catatan yang lengkap” akan sangat membantu dalam proses kajian dan analisis tersebut. Namun mencatat segala ssuatu yang terjadi di dalam kelas merupakan sesuatu yang sulit dan hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, maka supervisor harus memilih aspek-aspek keterampilan yang perlu dicatat. Disinilah pentingnya “fokus”. “Mencatat komentar” juga merupakan hal penting dalam pelaksanaan observasi, hal ini dilakukan agar supervisor tidak lupa terhadap komentar-komentar. Tetapi antara catatan dan komentar harus dipisahkan peletakannya, misalnya komentar dicatat pada tepi format observasi. “Pola” perilaku mengajar tertentu yang dilakukan guru sangat bermanfaat untuk dicatat dan nantinya untuk dibicarakan dalam pertemuan balikan. Kemudian, untuk “menghilangkan kegelisahan guru”, supervisor perlu menjelaskan kepada guru tentang apa yang akan dicatatnya. Penjelasan ini dapat disampaikan kepada guru ketika pada pertemuan pendahuluan sehingga guru mengetahuinya dan tidak perlu lagi merasa gelisah karena akan dilakukan pencatatan peristiwa.

Tahap pertemuan balikan (tahap ketiga); Tahap ini merupakan diskusi umpan balik antara supervisor dan guru berkaitan dengan kegaiatan yang baru saja diselesaikan yaitu, guru baru saja selesai melakukan latihan suatu keterampilan, dan supervisor baru saja selesai mengamati guru melakukan latihan. Yang menjadi acuan dalam pertemuan balikan ini adalah kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan pendahuluan, dan pada akhir diskusi balikan ini guru diharapkan dapat mengetahui dan menyadari seberapa jauh tujuan yang telah disetujui bersama dapat tercapai (Jayadi, 2002:78-79).

Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:79-80) mengemukakan langkah-langkah pembicaraan hasil supervisi klinis sebagai berikut.

1. Memberi penguatan dan menanyakan perasaan guru mengenai apa yang dialaminya dalam kegiatan mengajar secara umum. Hal ini untuk menciptakan suasana santai agar guru tidak merasa diadili;

2. Meriviu tujuan pelajaran;

3. Meriviu target keterampilan serta perhatian utama guru dalam mengajar/latihan mengajar

4. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pengajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya;

5. Menunjukkan data hasil rekaman dan memberi kesempatan kepada guru menafsirkan data tersebut.

6. Menganalisis dan menginterpretasikan data hasil rekaman secara bersama-sama;

7. Menanyakan kembali perasaan guru setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi rekaman data tersebut;

8. Menyimpulkan hasil dengan melihat atau membandingkan antara apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dengan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai;

9. Menentukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yag perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip umum supervisi klinis harus menjiwai seluruh tahap dalam siklus supervisi klinis, yakni tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan umpan balik. Prinsip-prinsip tersebut harus tercermin dalam wawasan supervisor dan harus menjadi landasan dari setiap keputusan dan perbuatannya dalam membantu guru meningkatkan profesionalismenya.

F. Simpulan

Berdasarkan uraian tentang supervisi klinis tersebut, dapat diambil beberapa simpulan yaitu:

1. Secara garis besar teknik supervisi ini dapat dilakukan dengan dua macam, yakni teknik perseorangan dan teknik kelompok. Teknik perseorangan adalah supervisi yang dilakukan secara perseorangan, sedangkan supervisi dengan teknik kelompok dapat mengambil bentuk supervisi kolegial.

2. Secara bahasa, istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others” sedangkan kata vision berarti “the ability to perceive something not actually visible, as through mental acuteness or keen foresight.

3. Secara istilah supervisi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggungjawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.

4. supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional. Supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut.

6. tujuan supervisi klinis dapat diuraikan ke dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: a) Memberikan gambaran secara objektif kepada guru mengenai penampilan mengajar yang senyatanya. b) Mendiagnosis dan memecahkan permasalahan pengajaran. c) Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam hal strategi mengajar yang dipakainya. d) Mengevaluasi guru untuk promosi, kenaikan jabatan, atau untuk keputusan lain. e) Membantu guru mengembangkan sikap positif dalam pengembangan profesionalisme secara berkesinambungan.

7. Ciri-ciri supervisi klinis: a) Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi; b) Jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor; c) Meskipun guru mempergunakan berbagai keterampilan mengajar secara terintegrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan saja; d) Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dan guru berdasarkan kontrak; e) Balikan diberikan dengan segera dan secara objektif (sesuai dengan data yang direkam oleh instrument observasi); f) Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasi data yang direkam oleh instrument observasi, di dalam diskusi atau pertemuan balikan guru terlebih dahulu diminta menganalisis penampilannya; g) Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan; h) Supervisi berlangsung dalam suasana intim dan terbuka; i) Supervisi berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi dan diskusi/pertemuan balikan; j) Supervisi klinis dapat dipergunakan untuk pembentukan atau peningkatan dan pervaikan keterampilan mengajar; di pihak lain dipakai dalam konteks pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan.

8. Tiga prinsip umum yang harus menjiwai tindakan atau keputusan supervisor, yaitu interaktif bukan directif, demokratis bukan otoritatif, dan berpusat pada guru bukan pada supervisor

8. Prinsip lainnya: a) Terpusat pada guru ketimbang supervisor; b) Hubungan guru dengan supervisor lebih interaktif ketimbang direktif; c) Demokratif ketimbang otoritatif; d) Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru; e) Umpan balik dari proses belajar mengajar guru diberikan dengan segera dan hasil atau kesimpulannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama; f) Layananan supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional guru; dan g) Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pengajaran hanya memfokuskan pada beberapa keterampilan saja.

9. Supervisi klinis dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan balikan.