A. Pendahuluan
Peradaban Islam sesungguhnya telah berkembang jauh sebelum bangsa-bangsa Barat banyak melakukan berbagai penemuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Sebut saja pakar-pakar muslim seperti Ibnu Sîna yang merupakan filosof dan ahli dalam kedokteran. Ibnu Sina juga merupakan Bapak kedokteran modern, Ibnu Khaldun seorang pakar ekonomi, historiografi dan sosiologi, Al-Farabi yang mempunyai kontribusi besar pada bidang matematika dan Farmasi, atau Abu Musa Al-Kawarizm yang menggubah dan menggunakan angka Arab modern serta menemukan angka Sifr (nol, 0) dan nisbat namanya dalam matematika moder untuk istilah logaritma.
Pada zaman keemasan Islam tersebut, para Sarjana Muslim sebagai pelopor perkembangan ilmu dan teknologi dalam mengaplikasikan ilmunya tidak terlepas dari peran agamanya, yaitu Islam. Sebagai sumber utama pengembangan ilmunya tentu saja kembali kepada Al-Qur’ân dan Hadist Nabi. Kemerosotan peradaban Islam saat ini tentunya disebabkan umat muslim sendiri telah melupakan epistomologi yang seharusnya diaplikasikan secara islami. Padahal Allah telah berfirman dalam QS. Al-Hajj (22):3 yang artinya: “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat”.
Bagaimanakah kita sebagai umat Islam, sebagai intelektual muslim, sebagai sarjana dan calon-calon sarjana muslim menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern saat ini yang kadangkala jika diamati banyak bertentangan dengan moral dan akhlak kehidupan yang Islami. Misalnya saja perkembangan teknologi nuklir yang akhirnya digunakan untuk membunuh satu sama lain, penemuan farmasi yang ternyata disalah gunakan untuk merusak generasi muda dengan “narkoba” dan obat-obatan psikotropika, rekayasa genetika yang mungkin nantinya mengaburkan silsilah keturunan. Alhasil memang peradaban modern yang tidak didampingi oleh akhlak (agama) yang baik akan menuju kehancuran.
Untuk itu, pada makalah ini penulis mencoba membahas dan menguraikan tentang aspek-aspek teori ilmu pengetahuan (Epistemologi) dalam pengembangan ilmu Islam. Apakah semua teori/aliran filasafat yang berkembang selama ini (Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Hermeneutik, Rasional Metaphisik, dan Pragmatisme) sesuai atau bertentangan dengan ajaran Islam (Epistemologi Islam)?
B. Pengertian-Pengertian
1. Epistemologi
Para ahli menyatakan bahwa kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu epistime yang berarti pengetahuan dan kata logos yang mempunyai sandingan dengan ilmu, jadi secara literlik dapat dikatakan arti epistemologi adalah ilmu pengetahuan. (Quraish Shihab, 2006:125) Ketika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita menemukan arti epistemologi sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan.
“Epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.” Bagi sesuatu ilmu, pertanyaan yang menyangkut definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya. (Kamrani Buseri)
Epistemologi dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai theory of knowledge dan pakar Islam menyebutnya sebagai Nazhâriyat al-Ma’rifat (Murtadha Muthahhari, 2008:19). Beragam uraian dan penjelasan dikemukakan oleh para ahli mengenai persoalan-persoalan apa saja yang dibahas dalam epistemologi, namun dapat disimpulkan menjadi beberapa masalah, yaitu:
a. Apakah sumber pengetahuan? Dan bagaimana manusia bisa mengetahuinya?
b. Apa yang menjadi watak pengetahuan? Apakah sesuatu yang diketahui itu “ada” wujudnya diluar benak siapa yang mengetahui, yakni “ada” wujudnya di alam nyata? Kalau ia “ada” apakah manusia dapat menjangkaunya?
c. Apakah pengetahuan kita, yang ada dalam benak itu, benar adanya? Bagaimana kita membedakan antara yang benar dan yang salah?. (Murtadha Muthahhari, 2008: 127-128)
Bisa dikatakan bahwa aspek garapan dari epistemologi meliputi : a). Sumber pengetahuan dan bagaimana manusia dapat mengetahui bahwa sesuatu dapat menjadi sumber pengetahuan, b). Setelah diketahui bahwa ada sumber pengetahuan, kemudian apakah sumber pengetahuan itu ada di alam nyata, dan c). Pengetahuan yang didapat dari sumber tersebut apakah sudah benar, kalaupun sudah benar apakah kebenaran ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan pandangan manusia saja atau benar berdasarkan ketentuan Allah swt.
2. Ilmu Islam
Kata Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris kita temukan padanannya sebagai Science. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa ilmu adalah: “Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu”
Istilah Ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai keserupaan dengan istilah Science dalam epistemologi Barat –yang dipandang sebagai “Any organized knowledge”-, jika dalam epistemologi Barat membedakan antara istilah knowledge dengan science, maka dalam epistemologi Islampun juga membedakan antara Ilmu (‘Ilm, yang diformulasikan sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”) dengan opini (ra’y).
Sedang para ahli memberikan batasan ilmu sebagai:
a. Mohammad Hatta: “ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan yang sama tabiatnya, meupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun meurut bangunannya dari dalam. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990:324)
b. Ralps Ross dan Ernest Van Den Haag: “ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak”. (Mulyadhi Kartanegara, tt:1)
c. Ashley Montagu (Guru Besar Antropolog pada Universitas Rutgers): “ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat yang sedang dikaji”. (Mulyadhi Kartanegara, tt:1)
Dari beberapa pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang harus sistematis, empiris, rasional, terukur dan berlaku umum. Jadi tidak akan dikatakan suatu ilmu jika pengetahuan tersebut bersifat tidak tersusun, irrasional maupun tidak dapat diukur (diuji). Namun menurut Mulyadhi Kartanegara yang dikutip Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa objek ilmu tidak mesti empiris karena realitas tidak hanya empiris melainkan juga hal yang tidak empiris karena lebih luas dan dalam jika dibandingkan dengan realita empiris.
Dalam hal ini Ilmu Islam adalah ilmu yang koheren dengan nash (al-Qur’ân dan Hadîts shahih), dengan demikian ilmu pengetahuan (science) dalam Islam memiliki definisi yang kental dengan nuansa spiritualitas, transendensi, karena memang Islam sudah memandang setiap sisi kehidupan adalah aktifitas ibadah bagi manusia. Setiap elemen hidup dan alam berikut proses interaksinya sepatutnya mengikuti sistem keteraturan (kebenaran) yang telah digariskan Sang Pencipta. Dengan demikian setiap informasi yang berkaitan dengan hal tersebut yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan, merefleksikan kebenaran dan keagungan Tuhan. Sehingga setiap manusia yang semakin memiliki dan memahami ilmu pengetahuan sepatutnya semakin mengenal dan dekat dengan Sang Pencipta.
C. Tantangan Umat Islam
Tantangan umat Islam pada zaman sekarang adalah tantangan ilmu pengetahuan. Penyebaran ilmu pengetahuan dengan aktor peradaban barat yang mengirim ilmu pengetahuan keseluruh penjuru dunia. Barat menawarkan obat penyembuh ilmu pengetahuan dari penderitaan pengetahuan umat Islam saat ini. Padahal ini merupakan racun yang sangat mematikan bagi tumbuh kembangnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Ilmu pengetahuan yang terkembangkan oleh kepantikan agama tentunya akan mengarakan kesebuah titik tolok pikir (Epistemologi) non material dan pembebasan dari ketergantunagn dari sesuatu nilai keberadaan. Hal ini di ungkapkan oleh Syed M Naquib Al Attas berikut ini:
“Sains kontemporer tumbuh berkembang dari sebuah filsafat yang sejak paling awalnya telah mengatakan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu yang lainya. Segala yang ada adalah kemajuan, pekembangan, atau evolusi dari potensi laten di dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang terlihat dalam hal ini adalah alam semesta yang tak tergantung apapun dan kekal (tak diciptakan); sesuatu yang berjalan dengan sendirinya dan memilki hukum sendiri. Penolakan terhadap Tuhan telah tersirat dalam filsafat ini”.
Hal tersebut menunjukan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini belum bisa meraba kebenaran terakhir. Semua hanya berpijak pada kulit luar dari materi yang bersifat berkekalan namun relatif. Hossein Nasr memberi gambaran dalam kaidah filsafat modern (Filsafat materialistik) mengakibatkan penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang terjadi di dunia mutakhir ini. Menciptakan runtutan peradaban materi dan menyeret manusia menuju cara pandang yang materialistik. Atau kata lainya mencuci manusia dengan dilektika negatif, yang mana segala sesuatu berasal dari sesuatu yang lain. Dan meniadakan peran Tuhan dalam hal ini.
Manusia modern memanang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al-Qur’ân mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya:
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain . Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”.( QS. An Nahl [16]: 92)
Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
D. Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam
Dari pengertian tentang epsitemologi pada bagian terdahulu dapat dikatakan bahwa pada bagian ini (Beberapa Aspek Epistemologi dalam Membangun Ilmu Islam) mengehendaki satu pembahasan tentang apsek apa saja yang terdapat dalam espitemologi (teori ilmu pengetahun) tersebut dalam usaha umat Islam untuk mengembangkan ilmu dalam konteks Islam, artinya ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor ajaran Islam sebagai ajaran yang universal (Rahmatan li al-‘Alamîn).
Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (al-Qur’ân dan al-Hadîts) (Mujamil Qomar, M.Ag, 2007:187). Dengan demikian setiap ilmu –ilmu pengetahuan keduniaan dan teknologinya maupun ilmu agama- yang dikembangkan dalam Islam harus senantiasa mengacu kepada al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai suatu landasan berpijak yang diyakini kebenaran yang qath’i.
Ketika membangun ilmu Islam, maka bangunan ilmu tersebut mestilah sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan alam serta tidak mengabaikan dimensi ilahiyah, dalam arti bahwa ilmu yang dikembangkan tersebut harus tidak keluar dari koridor kemanusiaan yang senantiasa tunduk dengan senantiasa patuh kepada hukum Ilahiyah, baik itu hukum –meminjam istilah Quraish Shihab- qauliyah maupun kauniyah.
Epistemologi harus dikembalikan menjadi epistemologi yang Islami dalam arti mengedepankan 2 unsur yang seimbang yaitu ilmu pengetahuan berdasar ayat-ayat yang bersifat “Qauliyah” atau Empirik termasuk didalamya rasio, panca indera dan intuisi (hati), kedua, ayat-ayat “Kauniyah” atau berdasarkan sumber-sumber formal Islam seperti wahyu dalam al-Qur’ân yang menerangkan kepada manusia tentang sesuatu bersifat meta-empirik atau supra rasional dan Hadist Nabi. Kenyataan empirik mungkin dapat dibuktikan dengan metodologi penelitian yang sudah berkembang saat ini, tapi untuk ayat-ayat “Kauniyah” maka hati atau intuisilah yang memegang peranan dimana ketaqwaan dan keimanan seorang akan mempengaruhi hal tersebut, Allah sendiri telah menyampaikan firmannya sebagai berikut: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya” (QS. Al Hajj: 8)
Peringatan Allah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang hanya menggunakan ayat-ayat Qauliyah atau empirik saja tanpa ada pertanggungjawabannya terhadap sesuatu yang ghaib atau meta-empirik dalam hal ini tentunya keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan mereka, sebagai yang Maha Tahu. Para intelektual saat ini seakan-akan mulai terkena syndrome atheisme dimana semua kepandaiannya dan kejeniusannya dalam penemuan-penemuan ilmu dan teknologi karena hasil jerih payahnya sendiri dalam menggunakan akal dan panca inderanya.
BEBERAPA PERTANYAN MENDASAR EPISTEMOLOGI
1. Pertanyaan pertama: Sarana apakah yang menjamin manusia mencapai pengetahuan (kebenaran/kenyataan) –sumber ilmu-?
Terhadap pertanyaan tersebut berbagai aliran filsafat mengemukakan jawaban tersendiri, yaitu:
a. Positivisme, dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626) yang menegaskan bahwa pengalaman empirislah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. (http://rizazaimun.blogspot.com) Apa-apa yang didapat dari eksperimen empiris, melalui metoda induktif, yang dapat dikatakan ilmiah. Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris.
Dalam Islam, hal tersebut tidaklah bertentangan, karena kebenaran yang dianut oleh Positivisme hanya berada pada wilayah material (Quraish Shihab:144-145; Murtadha Muthahhari:72), dan Al-qur’ân mejelasan bahwa: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An Nahl [16]: 78)
Pada ayat tersebut, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa alat pokok yang digunakan untuk meraih pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan (material), sehingga Islam mengakui kebenaran yang berdasarkan empiris (teramati dengan kedua indra tersebut).
Al-Qur’ân juga menyampaikan metode observasi ketika melakukan penelitian, yang artinya: 31. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya . berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS. Al-Maidah [6]: 31)
Observasi atau pengamatan indrawi bisa melalui alat indra telanjang atau dengan bantuan alat seperti mikroskop mapun teleskop. (Mulyadhi Kartanegara:3)
b. Rasionalisme dan Phenomenologik (yang mengembangkan Rasionalisme kritis ): kebenaran adalah sesuatu yang masuk akal, satu-satunya cara mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui metoda ilmiah yang ditopang oleh rasionalisme, sedang Pnomenologik berangapan bahwa kebenaran/ilmu diperoleh dengan intuisi langsung terhadap sumber utama pengetahuan serta studi intuisi atas esensi-esensi dan kebenaran berdasar pada gejala yang diamati melalui deduksi atau induksi (Rajihah dan Nidawati, , 2008:11). Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah rasio. Hanya pengetahuan yang didapat dari akallah, dengan metoda deduktif, yang memenuhi syarat lmiah. (http://rizazaimun.blogspot.com)
Selain observasi dan eksperimen (positivistik), juga disyaratkan kemampuan imajinatif, analisis, dan sintesis, terutama ketika menjawab pertanyaan yang susah ketika dicari jawabannya melalui observasi dan eksperimen. (Abudin Nata, MA., et. al., 2005:60) Hal tersebut juga diisyaratkan dalam firman Allah SWT yang artinya: 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghâsiyah [88]: 17 – 20)
Kembali, al-Qur’ân menyatakan bahwa kebenaran –ilmu- bisa diperoleh dengan mengarahkan dan mendayagunakan akal (fu’ad, sebagaimana QS. Al-Nahl [16]: 78), sehingga ilmu yang diperoleh dengan mendayagunakan indra jika dibarengi dengan pengerahan akal, maka akan diperoleh ilmu/kebenaran yang optimal.
Akal mampu memahami substansi-substansi dan esensi-esensi yang bersifat non-fisik (Mulyadhi Kartanegara, 2005:108), sehingga akal dapat menangkap informasi dari objek-objek yang tidak mungkin ditangkap oleh indra.
c. Hermeneutik : pada dasarnya adalah suatu metode untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan seperti teks untuk dicari arti dan maksudnya, dimana metode ini menyasratkan adanya kemampuan menafsirkan masa lampau yang tidak dialami penafsir untuk dibawa ke masa sekarang.
Dalam kajian ilmu keislaman, epistemologi ini bisa digunakan dalam rangka memahami ayat-ayat al-Qur’ân dan hadîts dengan melihat pada konteks keadaan atau situasi dan kondisi masyarakat pada saat ayat tersebut turun (asbab al-nuzûl) dan kondisi saat hadits (asbab al-wurûd) dikeluarkan, juga dengan kondisi dan situasi satu tafsir dikarang oleh seorang mufassir, serta dengan konteks kekinian (keadaan masyarakat sekarang), dalam corak tafsir kita kenal dengan corak adab al-Ijtima’iy.
Namun tentu saja kajian tafsir hermeneutik ini harus sesuai dengan koridor “keagungan” dan “kesucian” wahyu. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar (akal), jadi harus kita akui bahwa disamping ada hal yang rasional, irrasional, tetapi juga ada yang supra-rasional (diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya, karena akal manusia didesain terbatas).
…
Artinya: …Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
d. Rasional Metaphisik : Kebenaran berasal dari dunia objektif universal, dan tugas ilmu penetahuan adalah berupaya mendekati kebenaran mutlak tersebut yang kemudian diuji dengan logika deduktif probabilistik dan teori falsifikasi.
Dalam penerapan dengan ilmu keislaman bisa dikaitkan dengan naqd al-hadîts –walaupun dalam kritik hadits lebih bersifat verifikasi ketimbang falsifikasi-, namun bisa dikompromikan dengan cara meneliti dimana letak kesalahan atau kekeliruan dalam sanad suatu hadits.
Rasional metaphisik ternyata juga sampai pada pencarian kebenaran yang ada “dibalik sesuatu yang fisik” tetapi tidak sampai pada yang transendental. Disinilah fungsi wahyu yang menjelaskan tentang adanya “transendental” tersebut. Al-Qur’ân menghendaki ketika mengembangkan suatu ilmu –yang didapat melalui pengkajian ayat-ayat quliyah terutama kauniyah- harus sampai pada yang transendetal, bahwa ada yang haq dibalik sesuatu, yaitu Allah, pada epistemologi metaphisik inipun harus sampai pada bertambahnya keimanan kepada Sang Khaliq sekaligus bermakna dan berguna bagi makhluq (Theo-Antropho), sehingga Islam mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam pandangan Islam, ternyata ada wujud yang tidak nampak –tidak dapat dijangkau oleh indra- betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran yang dikerahkan untuk menggapainya, tapi yang mampu menagkapnya hanyalah hati (qalb) melalui intuisi, ilham, maupun wahyu. Sehingga al-Qur’ân disamping mengarahkan dan membimbing indra pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal dan qalbu (hati)
e. Pragmatisme : Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat bagi manusia (bersifat individual, lokal, dan temporal). Pemikiran epistemologi ini bertentangan dengan prinsip pengembangan ilmu dalam Islam, karena Islam hanya memperkenankan kebermanfaatan universal dan tidak merugikan kepada yang lain:
… •• •• …
Artinya: ...Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya . dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...
Menurut ayat tersebut bahwa ketika merugikan –membunuh- seseorang maka sama halnya dengan merugikan seluruh manusia, tetapi ketika seseorang memberi manfaat kepada seseorang maka sama halnya ia memberi manfaat kepada seluruh manusia.
2. Pertanyaan kedua: “Apa yang disebut kebenaran/kenyataan itu”
Para pakar empiris (positivisme) berpendapat bahwa tolok ukur kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya untuk dibuktikan melalui pengalaman, bahkan sebagian mengajukan syarat “pengalaman praktis” atau bila sesuai dengan pengalaman indrawi (correspondence) . Sedangkan para rasionalis menyatakan bahwatolok ukur kebenaran ilmu adalah watak dasar atau akal fitrah atau bila sesuai dengan tatacara yang berlaku dalam penalaran ilmiah (Koherensi) , artinya kebenaran ilmu itu harus “masuk akal” (rasional) jika tidak masuk akal maka ilmu tersebut salah.
Kedua hal tersebut tidak sepenuhnya benar dalam “ilmu Islam”, tolok ukur pengalaman hanya dapat digunakan pada hal-hal kasat mata (empiris), namun tidak untuk ilmu kasat mata –matematika- dan akal murni. Pada kesempatan laih, bahwa hasil yang dicerna oleh pengalaman itu harus diketahui melalui pengetahuan yang sifatnya “perolehan”, sedang sarana perolehan berada pada wilayah kebenaran menurut manusia, artinya kebenaran yang nisbi, serta belum dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya, karena masih punya sifat subjektifitas individunya. Sehingga dalam pandangan Islam bahwa apa yang muncul dari dalam diri manusia bisa jadi “bisikan malaikat” (lammah al-malakiyah) atau “bisikan syeithan” (lammah al-syaihôniyah).
Al-Qur’ân mengisyaratkan adanya dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajarkan pengetahuan (kebenaran). Pertama, melalui “pena” atau tulisan yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua, melalui pengajaran langsung tanpa alat, yang biasa disebut dengan ilm ladunni yang kebenarannya melebihi hasil penalaran, hal ini bisa dilihat dari kisah Nabi Musa yang begitu kritis dan cerdas mempertanyakan setiap tindakan gurunya yang senantiasa tidak rasional (lihat QS. Al-Kahfi [18]: 60 – 82), kedua cara tersebut dapat dilihat dari firman Allah:
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, bahwa kedua ayat tersebut dapat diartikan “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan)(hal-hal yang tidak diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya. Dimana kalimat “hal-hal yang tidak diketahui manusia sebelumnya” disisipkan karena isyarat pada susunan kedua, yaitu “apa yang belum diketahui sebelumnya”, sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan yang pertama. Dan yang dimaksud dengna ungkapan “telah diketahui sebelumnya” yaitu khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan.
Aliran-aliran epistemologi (Phenomenologik : apabila mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Rasional Metaphisik : Kebenaran dengan falsifikasi. Pragmatisme : sesuatu itu harus mempunyai kegunaan yang berorientasi kepada problem. Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat bagi manusia dan bersifat individual) tersebut mendasarkan kebenaran menurut pandangan masing-masing, namun ketika ilmu yang dikembangkan menurut aturan Islam, yaitu bahwa ilmu tersebut “benar” jika tidak terlepas dari konsep Theo-antropho, yaitu benar menurut alam –hukum alam atau ayat-ayat kauniyah- juga harus benar menurut Allah. Dan sekali lagi disinilah peranan wahyu dalam membimbing manusia untuk menemukan kebenaran ilmu yang hakiki.
E. Prinsip Pengembangan Ilmu
Pandangan epistemologi al-Qur’ân tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan sangat berbeda dengan epistemologi yang dikembangkan oleh Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya dengan mengandalkan panca indra, akal dan hati saja, maka dalam pandangan Islam (al-Qur’ân) semua alat tersebut harus disertai dengan penyucian batin. Karenanya sering kali al-Qur’ân menegaskan bahwa inna allâh lâ yahdi (sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada...), al-Zhâlimîn, al-Kâfirîn, al-Fâsiqîn, man yuhdil (orang yang disesatkan), man hua kâdzibun kaffâr (pembohong lagi amat ingkar), musrifin kadz-dzâb (pemboros lagi pembohong) dan lain-lain.
Prinsip pengembangan ilmu dalam Islam yaitu: pertama (tauhid), ilmu pengetahuan tidaklah dimanfaatkan melulu pada praksis, tetapi juga dimanfaatkan untuk memahami eksistensi yang hakiki alam dan manusia. Ilmu pengetahuan terus dikembangkan ke arah mana dicapai terus menerus pengertian yang lebih baik bahwa Allah SWT adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Dengan itu, ilmu pengetahuan selalu mengantarkan umat pada peningkatan keimanan (Theo-Antropho)
Prinsip kedua (kesatuan makna kebenaran) akan membebaskan ilmu pengetahuan dari sekularisme. Dengan prinsip ini tidak akan ada lagi istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Yang ada adalah kebenaran tunggal, baik kebenaran ilmiah maupun kebenaran relijius. Prinsip ini akan melahirkan kompromi dan interaksi yang terus menerus antara hasil-hasil ilmu pengetahuan dengan interpretasi kajian syari'ah. Interpretasi syari'ah tentang realitas diuji oleh hasil-hasil ilmu pengetahuan. Demikian pula sebaliknya, hasil ilmu pengetahuan akan diuji oleh hasil kajian syari’ah. Hal ini dikarenakan kebenaran tunggal datang dari Allah SWT.
Prinsip ketiga menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedua sumber ilmu pengetahuan, baik ayat kauniyah maupun ayat qouliyah memiliki posisi yang penting dalam mencapai kebenaran. Prinsip ini menopang prinsip kedua, karena ayat-ayat Allah selalu benar sehingga tidak ada kontradiksi antara keduanya. Jika belum terjadi ketidaksesuaian, maka kesalahan terletak pada manusia dalam memformulasikan ayat kauniyah atau dalam melakukan interpretasi ayat qouliyah. Bukan pada ayat-ayat itu sendiri.
Dari perbedaan kedua prinsip (Barat dan Islam), jelaslah bahwa perbedaannya terletak pada Konsep Illahiyah. Pada prisip pengetahuan modern Tuhan dianggap tidak ada dan manusialah yang menjadi pemeran utamanya. Sedang pada prinsip Islamisasi Iptek maka segalanya bersumber dari Allah dan digunakan pula untuk mendekatkan diri padaNya. Moralitas Iptek yang saat ini mengalami krisis hanya dapat diperbaiki dengan satu kata kunci yaitu BACK TO ISLAM.
Satu ungkapan dari Albert Einstein “Science without religion is blind, and religion without science is lamp” (Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh)
E. Kesimpulan
1. Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang epistemologi Islam itu sendiri berdasarkan wahyu (al-Qur’ân dan al-Hadîts), artinya dalam setiap ilmu yang dikembangkan oleh ilmuwan muslim harus dikembalikan kepada kebenaran yang hakiki, transendental, dan qath’i.
2. Tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini (dalam perkembangan ilmu) adalah berupaya mengembalikan pijakan epistemologi islam, yang oleh ilmuan barat telah dipisahkan dari yang transendental.
3. Ilmu Islam yaitu ilmu yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan hadîts.
4. Alat yang digunakan untuk memperoleh ilmu adalah indrawi (penglihatan dan pendengaran, juga indra lainnya) yang dilengkapi dengan fu’ad atau kalbu dan penyucian bathin yang dibimbing oleh wahyu.
5. Dalam pengembangannya, ilmu-ilmu yang dikembangkan harus senantiasa “benar” jika tidak terlepas dari konsep Theo-antropho, yaitu benar menurut alam –hukum alam atau ayat-ayat kauniyah- juga harus benar menurut Allah, disinilah peranan wahyu dalam membimbing manusia untuk menemukan kebenaran ilmu yang hakiki.
6. Prinsip pengembangan ilmu dalam Islam yaitu: prinsip tauhid, ilmu pengetahuan harus selalu mengantarkan umat pada peningkatan keimanan (Theo-Antropho), prinsip kesatuan makna kebenaran yang akan membebaskan ilmu pengetahuan dari sekularisme, dan prinsip agar menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan.