This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Yuk berbagi informasi dan pengetahuan. Semoga blog ini bermanfaat.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 16 Mei 2009

Sejarah Perkembangan Islam Masa Bani Umayyah

A. Pendahuluan

Kata bani dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan sebagai anak; keturunan; anak cucu. Jadi Bani Umayyah berarti Keturunan dari Umayyah, dalam perkembangan sebagai sejarah dan politik pemerintahan dapat diartikan sebagai Dinasti atau keluarga yang mengusai dan memerintah dalam suatu sistem kerajaan.

Bani Umayyah adalah salah satu dinasti yang pernah memimpin kekhalifahan Islam dan mengalami pasang surutnya sampai pada akhirnya hancur atau bubar dan digantikan oleh dinasti berikutnya yaitu bani Abbasiyah.

Kekhalifahan dalam Islam berubah dari sistem yang sebelumnya, yaitu seorang khalifah diangkat berdasarkan musyawarah dan persetujuan kaum muslimin (demokrasi) pada masa khalifah[1] Abu Bakr ash-Shiddiq sampai pada masa Khalifah ‘Ali bin Abu ath-Thâlib, namun terjadi perubahan yang sangat mendasar ketika terjadi konflik antara ‘Ali bin Abu Thâlib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, sehingga mengakibatkan terjadinya perang shiffin dan terjadinya tahkim. Bisa dikatakan bahwa inilah awal perubahan mendasar dari sistem kekhalifahan Islam, dari sistem musyawarah atau berdasarkan pilihan kaum muslimin kepada sistem monarki.

Perubahan kekhalifahan dari sistem syura menjadi dinasti disebabkan usul dari Al Mughirah bin Syu’bah yang mendengar berita bahwa ia akan digantikan oleh Sa’id bin al-‘Ash sebagai gubernur Koufah. Demi mempertahankan jabatan tersebut, Al Mughirah bin Syu’bah lebih dahulu menemui Yazid bin Muawiyah dan berkata “sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi saw telah pulang ke rahmatullah dan begitu juga para pembesar serta tokoh Quraiys yang berpengaruh. Sekaranghanya tinggal para putranya, sedangkan engkau di antara mereka adalah yang paling utama, yang paling jitu pemikiran, dan yang paling tahu terhadap al-sunnah serta yang paling ahli dalam politik. Aku tidak tahu apa yang menjadi alasan Amirul mukminin untuk tidak mengangkat engkau sebagai putera mahkota agar menjadi khalifah sesudahnya”. Yazid bertanya: “Apakah engkau yakin bahwa hal itu mungkin?”. Al Mughirah bin Syu’bah menjawab: “Ya”.[2]

Pernyataan Al Mughirah bin Syu’bah tersebut mempengaruhi pikiaran Yazid, dan Ia menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya, Muawiyah, sehingga Muawiyah memanggil Al Mugirah untuk menanyakan hal tersebut secara langsung. “Apa yang Kau katakan kepada Yazid”, tanya Muawiyah. Al Mugirah menjawab: “Wahai, Amirul Mukminin, Sungguh Aku telah menyaksikan pertumpahan darah dan perselisihan sepeninggal Utsman. Alangkah baiknya bilaEngkau mewariskan kekhalifahan kepada Yazid. Sungguh Yazid lebih berhak menjadi putra mahkota sehingga ia menjadi khalifah sepeninggalmu nanti, maka nyatakanlah hal ini kepadanya, sampaikanlah kepada masyarakat luas bahwa hal ini ditempuh dengan memellihara darah agar tidak tumpah demi terhindarnya sepeninggalku nanti”.

Kemudian Muawiyah bertanya: “Siapa yang akan mendukung langkah ini andai dilakukan?”. Al Mugirah menjawab: “Aku akan berusaha sehingga masyarakat Koufah akan mendukungnya dan begitu juga Ziyad pun tentu akan berusaha sehingga masyarakat Basrah akan bersikap sama. Sedang di luar kedua penduduk wilayah tersebut tidak akan ada yang berani menentangmu”.[3]

Demikianlah kemudian sehingga Yazid bin Muawiyah menjadi penerus kekhalifahan Bani Umayyah, yang kemudian sistem dinasti ini menjadi pola dasar pemerintahan Bani Abbasiyah juga.

Makalah yang penulis sampaikan ini lebih jauh akan membahas tentang proses berdirinya Bani Umayyah, serta perkembangan dan kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tidak lupa penulis sampaikan silsilah Bani Umayyah.

B. Bani Umayyah

1. Berdirinya Bani Umayyah

Pendiri Bani Umayyah/Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah, yang lahir di kota Mekkah pada tahun kelima sebelum kerasulan Nabi Muhammad saw. dan baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw. menaklukkan kota Mekkah pada tahun 8H bersama saudaranya yang bernama Yazid dan ibunya, Hindun binti ‘Uthbah bin Rabi’ah bin Abd asy-Syams. Sesaat sesudah menyatakan keislamannya, Ia juga diangkat oleh Rasulullah sebagai salah seorang penulis wahyu.[4] Dia banyak menerima riwayat hadits dari Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan juga dari saudara perempuannya yang bernama Habibah bin Abu Sufyan, juga menurut Ibnu Hajar yang dikutip oleh Dr. Hasan Ibrahim Hasan (2001;3) bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan juga meriwayatkan hadits dari para sahabat seperti Abdullah bin Abbas, Muawiyah bin Hudaij, Abdullah bin Az Zubair, Marwan bin Al-Hakam, dan Said bin Musayyab.

Pendahulu –kakek dan keluarganya- Muawiyah bin Abu Sufyan adalah pembesar, pedagang, pejuang dan pimpinan angkatan perang pada masanya, tercatat bahwa Umayyah –ayah dari kakeknya- adalah seorang dari tokoh yang memimpin suku Quraiys dan punya kedudukan tinggi sama dengan pamannya yang bernama Hasyim bin Abd al-Manaf, pada zaman jahiliyah. Kakeknya yang bernama Harb bin Umayyah adalah seorang panglima perang pasukan tentara Quraiys dalam perang Fijar. Ayahnya adalah seorang saudagar yang punya kafilah dagang dari Syam ke Mekkah.

Sehingga tidak mengherankan kalau Muawiyah bin Abu Sufyan dengan sekuat tenaga melindungi aset berharganya berupa kedudukan dan kemulian sebagai keluarga pemimpin Quraiys yang tidak rela melihat kekuasaan dan kemuliaan keluarganya disamaratakan oleh ajaran Islam[5], Dia tidak bisa menyaksikan bahwa ajaran nenek moyangnya yang selama ini diagungkan dan dipeliharanya, akan dihancurkan oleh ajaran Tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sehingga demi melihat dan menghormati kedudukan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam masyarakatnya –walaupun Rasulullah melakukannya demi melihat sisi positip bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan masih mempunyai pengaruh dalam mewarnai dan mempengaruhi kaumnya atau orang-orang yang percaya kepadanya untuk masuk Islam-, maka pada saat terjadi penaklukkan kota Mekkah Rasulullah berinisiatif untuk mengumumkan tiga hal, “Barang siapa yang menyarungkan pedangnya, maka dia aman; barang siapa yang masuk ke Masjid al-Haram, maka dia aman; dan barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman”. Karena penghormatan yang sedemikian besarlah, sehingga Muawiyah bin Abu Sufyan sendiri dan juga banyak dari keluarga dan pendukungnya masuk Islam dan kemudian menjadi pejuang dan pembela Islam yang gagah berani.[6]

Sejak masa khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq sampai pada masa ‘Umar bin al-Khattab, kakek, paman dan saudara Muawiyah bin Abu Sufyan telah menjadi bagian penting dari perkembangan Islam –terutama dalam perlusan daerah Islam-, dengan dipercayakannya jabatan penting seperti panglima perang kepada keluarganya, dan hingga pada masa khalifah Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan diangkat sebagai Gubernur Syam.[7]

2. Khalifah Bani Umayyah

Bani Umayyah menjalankan roda pemerintahan kekhalifahan Islam selama 89 tahun –jika menggunakan perhitungan lunar sistem selama 91 tahun-, yaitu sejak tahun 41 – 132 H / 661 – 750 M. Dalam masa tersebut tentu saja banyak khalifah Bani Umayyah yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan (Islam). Berikut silsilah para khalifah Bani Umayyah:[8]

3. Perkembangan dan Kemajuan Bani Umayyah

Sampai pada pemerintahan khalifah ke 10-11 (Hisyam 105 H/724 M dan Al Walid 125 H/743 M) yang berpusat di Damaskus, wilayah kekuasaan Islam sampai pada batas-batas yang terjauh, membentang dari pantai lautan Atlantik dan Pyrenees sampai ke Indus dan perbatasan Cina.

Perkembangan dan kemajuan Bani Umayyah pada dasarnya terjadi masa masa khalifah pertama; Muawiyah bin Abu Sufyan sampai pada masa pemerintahan khalifah kesepuluh; Hisyam bin Abdul Malik (41 H/661 M – 125 H/743 M), sedangkan masa pemerintahan sesudah khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengalami kemunduran dan kemorosatan bahkan mengalami kehancuran yang kemudian diambil alih oleh Bani Abbasiyah.[9] Berikut perkembangan dan kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa pemerintahan Bani Umayyah.

1. Perluasan Wilayah Islam

Pada masa khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, perluasan wilayah Islam ke selatan telah sampai di Khurusan dan Lahore yang dipersembahkan oleh panglimanya yang bernama Al Mulahhab bin Abu Shufrah. Setelah itu perhatian diarahkan ke arah utara dan barat yang berbatasan dengan Imperium Romawi yang selalu mengganggu stabilitas wilayah Islam, sehingga Muawiyah mengirimkan pasukannya yang telah memiliki 1.700 armada kapal dan berhasil menaklukkan Pulau Rhodes dan sebgian kepulauan milik Yunani. Ketika penduduk wilayah Bagdhis, Hurrah, dan Balkh (Yunani) membatalkan perjanjian, Qais bin Al Haitsam yang menjabat sebagai Gubernur Khurusan, melakukan usaha pelurusan perjanjian tersebut dengan lebih dahulu menghancurkan rumah ibadah orang Balkh; Naubahar, sehingga penduduk Badghis, Hurrah dan Singkiang menepati lagi perjanjian yang telah disepakati. Kemudian pada tahun 50 H/670 M, ‘Uqbah bin Nafi‘, seorang panglima yang diutus Muawiyah bersama 10.000 tentaranya berhasil menaklukkan Afrika, sehingga dengan keberhasilannya tersebut, banyak dari penduduk dan tentara beserta panglimanya yang ditaklukkan bergabung bersama tentara Islam.[10] Diriwayatkan bahwa Ia terus bergerak maju sampai lautan Atlantik menghentikannya dan meninggal sebagai syahid pada 63 H/683 M di dekat Birska (Aljazair sekarang).[11]

Satu pasukan yang disebut “pasukan burung merak” (79 H/699 M) dibawah pimpinan ‘Abd al-Rahmân berhasil menaklukkan Zunbil (gelar bagi raja-raja Persia) raja Turki di Kabul (Afganistan) yang menolak membayar pajak, namun keberhasilan yang gemilang juga ditorehkan panglima bani Umayyah lainnya yang bernama Qutaybah ibn Muslim –yang mengendalikan 40.000 pasukan di Bashrah, 70.000 di Kuffah, dan 7.000 pasukan bayaran lainnya- dan Muhammad ibn al-Qâsih al-Tsaqafî yang berhasil melakukan ekspedisi militer di kawasan seberang sungai Transoxiana di Asia Tengah, wilayah Oxus yang menjadi batas antara masyarakat berbahasa Persia dengan bahasa Turki. Qutaybah juga berhasil menguasai Takaristan (85 H/705 M) dan Balkh (Yunani: Bakhtra), Bukhara di Shagda/Sogdiana dan sekitarnya (86-89H / 706-709 M), sebagian Samarkand dan Khwarizm (sekarang Khiwa) di sebelah barat (90-92 H/710-712 M), yang pada masa Pemerintahan Yazid II (99-101 H/717-720 M, Philip K. Hitti (2005;262) menyebutnya ‘Umar II) wilayah Bukhara, Samarkand dan Khwarizm diberi tawaran menjadi muslim agar bebas dari pajak dan kemudian wilayah tersebut menjadi pusat kebudayaan Arab dan tempat tumbuhnya Islam di wilayah Asia Tengah (Cina dan Moggolia) di provinsi Jaxartes dan Farghanah.[12]

Selama kekuasaan bani Umayyah, wilayah Islam seudah mencakup berbagai wilayah, pulau dan benua. Bisa dilihat kekuasaan tersebut terbentang di Timur sampai ke sungai Oxus, bagian barat India yang berakhir di Punjap dan Lahore yang dikuasai sekitar 44 H/664 M. Di sebelah Utara, dengan dikuasainya pulau Rhodes, Cretta sampai Konstantinopel yang merupakan basis pertahanan Bizantium. Lalu disebelah Barat, Islam menguasai seluruh Afrika Utara, Algeria, Tlemen, Tanggiers sampai sebagian Erofa Barat (Spanyol) yang diduduki antara 50-63 H/670-683 M.[13]

Sampai pada 111 H/732 M kaum muslimin terhenti di daerah Tours dan Poiters (perbatasan Prancis dan Austria) oleh tentara Charles Martel.[14]

Dari beberapa ekspedisi militer yang dilakukan bani Umayyah tersebut terlihat bahwa dasar dari penaklukkan tersebut adalah semangat syiar untuk mengenalkan Islam pada penjuru dunia, disamping ada beberapa wilayah yang sudah takluk namun tidak memenuhi kewajiban membayar pajak, maka mereka diberi tawaran untuk memeluk agama Islam agar tidak membayar pajak.

2. Sistem/Tata Politik

Ahli sejarah dan ulama sependapat bahwa tidak ditemukan bukti sejarah atau nash dari Nabi Muhammad yang dengan tegas menyatakan tentang siapa yang harus menggantikan dan menjadi pemimpin, sehingga masalah tersebut menjadi ijtihad kaum muslimin untuk bermusyawarah dalam menentukan pimpinan yang disukai.

Walaupun sistem pemerintahan masih menggunakan sentralisasi, menurut ahli sejarah bahwa semenjak pemerintahan Bani Umayyah inilah tampak perbedaan tata politik dengan masa kemimpinan khalifah rasyidah, karena bani Umayyah lebih menonjolkan gaya politik Arabnya –walaupun tidak dipungkiri bahwa dalam usahanya meluaskan wilayah Islam sering menggunakan jasa dari pasukannya yang terdiri dari Arab dan non Arab (mawali)-, dan menurut Ali Husni Al-Kharbutily yang dinuqil oleh Ajid Thohir (2004;38) mengemukakan bahwa wilayah Islam pada awal kekuasaan Muawiyah membaginya kepada lima front, yaitu:[15]

1) Front Jazirah Arabia yang meliputi Hijaz, Yaman, Makkah dan Madinah. Dimana bersama dengan Front Irak (front 3) diterapkan kebijakan politik yang lunak karena menjadi basis pendukung Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, sehingga berbagai pendekatan dilakukan baik psikologis mapun sosial untuk menarik minat dan dukungan kedua kubu tersebut.

2) Front Mesir, mencakup seluruh wilayah Mesir.

3) Front Irak, mencakup Teluk Persia, Amman, Bahrain, Sijistan, Kirman, Khurasan sampai Punjap di India.

4) Front Asia Kecil, mencakup Armenia dan Azerbaijan.

5) Front Afrika, mencakup wilayah Berber, Andalusia dan negara sekitar laut Tengah.

3. Sistem Administrasi Negara

Dengan adanya perluasan wilayah kepada daerah-daerah yang lebih dahulu mempunyai tata pemerintahan dan bahasa setempat, maka bani Umayyah (terutama pada masa ‘Abd Malik dan al-Walîd) menggunakan bahasa Arab dalam catatan administrasi publik (dîwân) yang sebelumnya menggunakan bahasa Yunani di Damaskus, dan di Irak dan propinsi bagian timur dari bahasa Persia. Hal tersebut juga merubah struktur kepegawaian, dimana pada daerah yang sebelumnya para pegawai menggunakan bahasa Yunani atau Persia, diganti dengan pegawai yang berbahasa Arab meskipun seorang non-Arab.[16]

Al-kâtib (juru tulis) atau sekretaris[17] yang teratur dan profesional sudah digunakan telah digunakan. Jumlah sekretaris yang digunakan Bani Umayyah sebanyak lima orang yang terdiri dari sekretaris persuratan yang merupakan jabatan sekretaris yang paling tinggi karena khalifah hanya mengangkat dari kerabat atau orang yang khusus saja, sekretaris perpajakan, sekretaris ketentaraan, sekretaris kepolisian, dan sekretaris hakim.

Muawiyah juga membuat sebuah biro registrasi atau biro stempel (diwân al-khatîm) yang bertugas membuat dan menyimpan salinan setiap dokumen resmi sebelum distempel kemudian mengirimkan salinan aslinya, hal ini dilakukan karena ada yang berusaha memalsukan tanda tangannya. Kemudian pada masa pemerintahan ‘Abd al-Mâlik (65-86 H/685-705 M), Bani Umayyah telah membangun gedung arsip negara di ibu kota, Damaskus.[18] Sehingga berkembang tradisi literer.

Jika pada masa khalifah rasyidah setiap orang yang ingin bertemu dengan khalifah diperbolehkan pada saat kapan dan dimanapun, tetapi pada masa bani Umayyah hal tersebut tidak diperbolehkan lagi, khalifah mengembangkan sistem al-hijabah, yaitu adanya ajudan atau penjaga pintu sebelum seseorang bertemu khalifah.[19]

Bani Umayyah juga membentuk empat diwan atau departemen, yaitu:[20]

1) Diwan pajak

2) Diwan persuratan, banyak pegawai yang diperlukan untuk jabatan ini, karena mereka harus mengawasi wilayah dan surat-surat yang datang dari gubernur.

3) Diwan al-mustaghilat atau dewan penerimaan

4) Diwan Stempel yang dibentuk Muawiyah sebagai diwan terbesar.

Bani Umayyah juga meneruskan sumber pemasukan bagi bait al-mâl, yaitu dari pajak (Kharraj) atas tanah, sepersepuluh atas barang dagangan, zakat, jizyah (upeti).[21]

4. Kemiliteran

Organisasi militer yang diterapkan pada masa Bani Umayyah secara umum menganut sistem yang diterapkan kerajaan Bizantium, dimana kesatuan pasukan dibagi dalam lima kelompok, yaitu; tengah, dua sayap, depan dan belakang. Pada masa khalifah terakhir, Marwan II (127-132 H/744-750 M) diperkenalkan satu unit pasukan baru yang disebut kurdûs (legiun). Sedangkan teknologi militer juga mengalami perkembangannya, diantaranya perlengkapan artileri berat yang terdiri dari pelempar (‘arrâdah), pelontar (manjanîq), dan pendobrak (dabbâbah, kabsy) yang dibawa oleh beberapa ekor unta pada barisan belakang pasukan, dengan jumlah seluruh pasukan yang dimiliki Bani Umayyah berjumlah 60.000 orang, sedang biaya yang digunakan untuk pasukan dan bantuan untuk keluarganya sebesar 60.000.000 dirham.[22]

Teknologi mobilisasi pasukan juga berkembang, yaitu dengan digunakannya kapal perang untuk mengangut pasukan dan sekaligus pertempuran di perairan. Unit tempur ditempatkan di kapal berbadan besar dengan tempat duduk 25 buah yang digunakan untuk 100 pasukan, ditambah dengan pendayung yang juga dipersenjatai dan tentara terlatih dalam pertempuran ditempatkan di dek paling atas.[23]

5. Ilmu Pengetahuan Agama

Usaha menyebarkan Islam, kondisi ekonomi yang belum stabil, serta dekatnya masa peralihan dari masa jahiliyah (masa sebelum Rasulullah), merupakan beberapa sebab yang membuat perkembangan intelektual yang lamban, tetapi benih intelektualitas sudah ditanamkan oleh Bani Umayyah yang kemudian tumbuh berkembang pada masa Bani Abbasiyah dan masa sesudahnya.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pengembangan ilmu pengetahuan terpusat pada beberapa kota. Secara umum dapat dibagi kepada dua, yaitu; dua kota pusat keagamaan di Hijaz, Mekkah dan Madinah, sebagai pusat berkembangnaya seni musik, lagu dan sastra, sedangkan untuk pengembangan aktivitas intelektual terpusat di kota Bashrah dan Kuffah (Irak).[24] Dan secara umum perkembangan ilmu pengetahuan adalah sosialiasi Arab pada seluruh daerah taklukkan yang pada akhirnya berakibat pada akumulasi untuk kepentingan pribadi, namun secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Diantara akibat kepentingan tersebut adalah kepentingan orang luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam yang menuntut mereka harus memahami struktur dan budaya Arab, yang kemudian melahirkan berbagai ilmu Bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, isti’arah dan sebagainya. Juga pengembangan ilmu-ilmu agama sebagai konsekuansi dari perluasan wilayah, dimana penduduk luar jazirah Arab yang memerlukan berbagai penjelasan sistematis dan kronologis tentang Islam, sehingga menghasilkan ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam dan tarikh.[25]

Abû al-Aswad al-Du‘alî (w. 688) adalah orang yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu bahasa karena dialah yang melatekkan dasar tiga pola bentukan kata benda, kata kerja dan imbuhan. Ulama Bashrah lainnya, al-Khalîl ibn Ahmad (w. 786) menyusun sebuah kamus Bahasa Arab al-‘Ayn, dan Sîbawayh (w. ± 793), murid al-Khalîl, menyusun buku Al-Kitâb tentang tata bahasa Arab yang sistematis.[26] Kemudian Al-Hajjâj ibn Yûsuf al-Tsaqafî (w. 714) dianggap sebagai orang yang memberikan kontribusi dalam pengembangan tanda baca huruf hijayyah ketika membedakan huruf yang sembelumnya mempunyai bentuk yang sama, seperti dengan tâ, tsâ, thâ’ dengan zhâ’, dâl dengan zhâl, serta peminjaman tanda vokal dari bahasa Suriah seperti fathâh (a), dhommah (u) dan kasrah (u).[27]

Konstribusi paling besar dalam sejarah ilmu keislaman adalah yang dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Abd ‘Azîz (99/101 H/717-720 M) yang memerintahkan para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi.[28] Diantara ahli hadits pada masa Bani Umayyah adalah al-Hasan al-Basrî (w.728 M) dan Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 742 M), ‘Abdullah ibn Mas‘ud (± 653 M) yang meriwayatkan 848 buah hadits, ‘Âmir ibn Syarâhîl al-Sya‘bî (w. 728 M) yang mempunyai murid, Abû Hanîfah.[29]

‘Ubaid ibn Syaryah, adalah penutur kisah yang terkenal yang diundang Muawiyah untuk memberitahukannya tentang raja-raja Arab masa lalu dan suku-sukunya, kemudian ia menyusun buku yang berjudul Kitâb al-Mulûk wa Akhbâr al-Mâdîn (Buku tentang raja dan sejarah bangsa terdahulu), kemudian muncul Wahb ibn Munabbih (w. 728 M) dan Ka’b al-Ahbâr (w. 652 M), keduanya adalah orang Yahudi, dimana lewat keduanyalah kisah-kisah yang terdapat di Taurat masuk ke dalam tradisi Islam dan tradisi sejarah Arab.[30]

6. Sains dan Teknologi

Perkembangan dan kemajuan dunia sains dan teknologi tidak begitu pesat seperti pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah, karena pemerintahan masih sangat terfokus pada perluasan wilayah, selain juga upaya mengendalikan stabilitas keamanan wilayah kekuasaan.

Ilmu pengetahuan yang dikenal oleh orang Arab pada masa itu terdiri atas dua macam; ilmu agama dan ilmu tentang tubuh manusia (ilmu pengobatan/ kedokteran), ilmu yang kedua berkembang di semenanjung Arab masih sangat primitif yang melibatkan praktik perdukunan dan jimat, hingga masa Nabi Muhammad yang menggunakan madu dan berbekam sebagai teknologi pengobatan yang baru.[31] Sampai pada masa Muawiyah, yang menjadi dokter ternama adalah al-Hârits ibn Kalâdah (w. 634 M) dari Thaif dan kemudian diteruskan anaknya, al-Nazdr.

Khalifah Walid ibn Abd Malik memberi perhatian kepada bimaristan (al-Baimaristan), yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat dari perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat studi ilmu kedokteran,[32] yang menugaskan dokter dengan gaji dan melarang orang dengan penyakit kusta untuk mengemis sehingga dia menganggarkan biaya khusus untuk jaminan kesehatan bagi orang yang berpenyakit kusta, lumpuh, orang buta dan yang jadi penuntunnya.

Khalifah Malik bin Marwan sangat menyenangi ilmu astrologi (perbintangan) sampai-sampai menjadikan ahli nujum sebagai penasihat dalam peperangan yang dilakukan,[33] dengan demikian ilmu astronomi sudah mulai dikenalkan dan diakui pemerintahan.

7. Seni Budaya

Seni syair dan –klub- musik pada masa Bani Umayyah bukan suatu baru, karena syair dan musik sudah ada sejak pra Islam, namun pada masa Bani Umayyah –juga bani Abbasiyah- meniru klub seni suara dan musik dari bangsa Persia. Pada saat itulah penyair Hijaz bermunculan seperti; ‘Umar ibn Abu Rabi’ah, Qais bin Duraij, Katsir Izzah, dan Jamil Butsainah, dan masyarakat sangat menyukai syair karangan mereka dan sering menyanyikannya.[34] Disebutkan pula bahwa gambus kayu dari Persia; ‘ûd (Bahasa Inggris; “lute”) diperkenalkan oleh ibn Surayj (w. 726 M) dibawa oleh pekerja Persia ke Arab tahun 684 M oleh ‘Abdullâh ibn al-Zubayr.

Pemusik laki-laki profesional pertama dengan julukan mukhannatsîn diantarnya Thuways (merak kecil, 632-710 M) dari Madinah dan muridnya yang terkenal, ibn Surayj. Musisi yang pertama menerjemahkan lagu-lagu Bizantium de dalam bahasa Arab adalah Sa’id ibn Misjah (atau Musajjah, w. ±714).[35]

Dalam seni arsitektur, bani Umayyah mengembangkan pengetahuan daerah taklukkan, seperti Persia yang lebih dahulu maju dalam bidang arsitektur. Kita ketahui pada mulanya bangunan bangsa Arab tidak lebih dari tenda-tenda atau bata yang dijadikan dinding masjid –tidak ada kubah dan menara-, namun ketika budaya Arab bertemu dengan budaya luar Arab yang lebih dahulu maju, maka diadopsilah teknologi arsitektur tersebut ke dalam bangunan Islam. Tercatat masjid-masjid yang dibangun pada masa Bani Umayyah di daerah taklukkan menggunakan arsitektur setempat tanpa menghilangkan fungsi dan ciri khusus sebuah masjid.

Terobosan Muawiyah yang ekstrim adalah membuatan maqshûrah, sebuah ruangan berpagar di dalam masjid sebagai tempat khusus khalifah. Mihrab dan menara dikenalkan oleh bani Umayyah, dimana masjid Umayyah di Damaskus menggunakan menara yang sebelumnya adalah menara jam (nâthûr) milik katedral St. Yahya, mesjid ‘Amr di Fusthat memiliki menara di keempat sudutnya, dan Ziyad, gubernur Muawiyah di Irak, membangun mesjid dengan menara batu.[36]

C. Kesimpulan

Secara umum perkembangan dan kemajuan Bani Umayyah yang memerintah selama 89 (41–132 H/661–750 M) adalah sebagai berikut;

1. Perluasan wilayah Islam; di Timur sampai ke sungai Oxus yang berakhir di Punjap dan Lahore (44 H/664 M), di Utara yaitu pulau Rhodes, Cretta sampai Konstantinopel, lalu di Barat menguasai seluruh Afrika Utara, Algeria, Tlemen, Tanggiers sampai sebagian Erofa Barat (Spanyol), yang berarti juga memperbanyak jumlah orang yang masuk Islam,

2. Bidang Sistem dan Tata Politik dengan pembagian wilayah ke dalam 5 front.

3. Bidang Administrasi Negara meliputi; pembentukan diwan pajak, penerimaan, stempel, dan perusuratan (al-kâtib) yang terbagi pada sekretaris perpajakan, sekretaris ketentaraan, sekretaris kepolisian, dan sekretaris hakim.

4. Bidang Kemiliteran, pembagian kelompok pasukan, unit pasukan baru yang disebut kurdûs (legiun), dan teknologi militer seperti perlengkapan artileri berat yang terdiri dari pelempar (‘arrâdah), pelontar (manjanîq), dan pendobrak (dabbâbah, kabsy).

5. Bidang ilmu agama yang meliputi berbagai ilmu Basaha Arab, seperti nahwu, sharaf, balaghah, bayan, badi’, isti’arah, ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam dan tarikh.

6. Bidang Sains dan teknologi hanya sedikit sekali yaitu bidang kedokteran dan pendirian bimaristan dan ilmu astrologi.

7. Seni Budaya; meliputi syair dan penggunaan alat musik gambus.

8. Seni arsitektur, lebih menitik beratkan pada arsitektur masjid sebagai tempat ibadah, pengajaran dan markas militer. Diperkenalkannya maqshûrah dan menara.


DAFTAR BAHAN BACAAN

Hasan, Dr. Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam 2, terj. H. A. Bahauddin, Cet. 1, Jakarta, Kalam Mulia, 2001

Haekal, Muhammad Husain, Dr., Ph.D, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Cet. VII, Jakarta, Pustaka Jaya, 1982

Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. II, Jakarta, PT. Ikrar Mandriabadi, 2006

Tohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Ed. I, Cet. 1, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Sunanto, Musyrifah, Hajjah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahun Islam, Cet. 1, Jakarta, Prenada Media, 2003



[1]Istilah Khalifah terambil dari kata خَلَفَ, yang berarti mengganti, jadi khalifah berarti pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pimpinan umat Islam, khalifah pertama kali dikenal pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq yang diberi sebutan Khalifah Rasulullah (pengganti rasullah) dalam memimpin umat sebagai suatu Negara, oleh Umar bin Khattab diusulkan untuk mengganti sebutan tersebut dengan Amirul mukminin dan ditambah dengan Rahimakallahu ‘alal adhan. (Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh: H. A. Bahauddin, Cet. 1, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hlm.295-296, lihat juga pada hlm.276-277)

[2]Ibid, hlm.9-10

[3]Ibid

[4]Ibid, hlm.3

[5]Dalam ajaran Islam bahwa yang paling mulia dan terhormat adalah yang paling bertaqwa, bukan orang yang mempunyai status sosial ataupun harta yang banyak.

[6]Ibid, hlm.3

[7]Terlepas dari sebagian pendapat yang menyatakan bahwa pengangkatan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur oleh Utsman bin Affan merupakan bentuk dari memberdayakan keluarganya, tetapi lebih dari kapabilitas seorang Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai orang yang punya kemampuan dalam memimpin, ini terbukti pada peristiwa penaklukkan kota Mekkah pada masa Rasulullah. Dia juga cerdik dan menguasai politik, serta planning yang bagus.

[8]Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hlm.1; lihat juga Ajid Thohir, Perkembangan dan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Ed. I, Cet. 1, PT. RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2004, hlm.34

[9]Ajid Thohir, Ibid., hlm.37

[10]Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hlm.6-9

[11]Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Cet. I, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hlm.266

[12]Ibid, hlm.258-259,262; Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hlm.44-47

[13]Ajid Thohir, Loc.Cit, hlm.40

[14]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.268-269

[15]Ajid Thohir, Loc.Cit, hlm.38-39

[16]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.270-271

[17]walaupun pada masa rasulullah sudah ada petugas juru tulis tersebut, tercatat ‘Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thâlib, Zaid bin Tsabit, Muawiyah bin Abu Sufyan, Al Mughirah bin Syu’bah, dan Sa‘id bin al-‘Ash adalah juru tulis al-Qur’ân dan surat-surat yang dikirimkan Nabi (Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit hlm.300)

[18]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.282

[19]Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit, hlm.301

[20]Ibid, hlm.310-311

[21]Ibid, hlm.331-345 (Kharraj adalah pajak atas tanah dan tidak lepas meski pemiliknya masuk Islam, sedangkan jizyah adalah pajak atas perorangan yang dapat diakhiri jika ia masuk Islam)

[22]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.282-283

[23]Ibid, hlm.283

[24]Ibid, hlm.301

[25]Ajid Thohir, Loc.Cit, hlm.41

[26]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.302-303; Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit, hlm.404

[27]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.274

[28]Hj. Musrifah Sunanto, Loc.Cit, hlm.40. Peradaban masa khalifah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz akan di bahasa secara tersendiri oleh pemakalah yang lain.

[29]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.304

[30]Ibid, hlm.306; Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit, hlm.418

[31]Philip K. Hitti, Loc.Cit, hlm.318

[32]Hajjah Musyrifah Sunanto, Loc.Cit, hlm.39; Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit, hlm.416

[33]Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Loc.Cit, hlm.419

[34]Ibid, hlm.477-478

[35]Ibid, hlm.343

[36]Ibid, hlm.328