Sabtu, 12 September 2009

Kekerasan Pendidikan di Sekolah

A. Rasionalisasi pendidikan anak oleh orang tua dan guru ( pendidik )

Untuk menjadi pendidik yang baik memang tidak gampang. Jika terlalu keras dalam mendidik anak, perkembangan anak menjadi negatif. Namun jika anak hanya diberikan kasih sayang, segala keinginan anak dipenuhi, juga bukan solusi yang baik. Ketika anak sudah mulai mengerti hal-hal konsepsual (biasanya ketika anak menginjak umur 3 tahun), pada diri anak mulai muncul paham ego. Anak mulai mengembangkan perasaan memiliki,semua barang yang disekitar anak merasa dimilikinya. Ketika anak melihat suatu barang, anak ingin memiliki dan berusaha untuk memiliki. Pada fase perkembangan berikutnya, baru anak mengembangkan perasaan superego, dimana anak mulai mengenali norma-norma kehidupan (apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan). Jika fase ini gagal, maka anak tidak pernah mengenal rasa bersalah atau rasa takut jika anak melakukan suatu kesalahan. Disini anak mempunyai potensial untuk berkembang negara. Untuk itu pendidik harus membantu dalam proses perkembangan anak. pendidik harus memperkenalkan anak tentang norma-norma dan peraturan, dengan cara mendidik anak. Hanya dengan cara demikian, anak bisa tumbuh menjadi orang yang baik. Dalam mendidik anak, pendidik harus memberikan pengertian dan nasihat kepada anak. Seringkali pengertian dan nasihat orang tua tidak cukup. Jika anak tetap melakukan kesalahan yang sama yang berulang-ulang, tidak ada pilihan bagi orang tua untuk memberikan hukuman. Bukankah orang dewasa juga dihukum jika melanggar peraturan? Anak seharusnya diperkenalkan bahwa dia melakukan kesalahan maka anak bisa dihukum.

B. Kekerasan Pendidikan Anak (KPA)

Batasan KPA agak sulit untuk bisa didefinisikan dengan jelas. Ada yang menuliskan bahwa kekerasaan pada anak meliputi makian, jeweran dan pukulan terhadap anak. Sedangkan pendapat yang lain disebutkan bahwa larangan orang tua terhadap suatu aktivitas yang disukai anak sudah termasuk KPA. Karena batasan-batasan tentang KPA tidak jelas, maka KPA dapat didefinisikan sebagai bentuk pembatasan hak-hak anak yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak.

Bentuk KPA yang terjadi banyak macamnya. Kekerasan paling sering dilakukan oleh anggota keluarga terdekat atau anggota rumah, misal orang tua, saudara, atau paman. Peringkat kedua diduduki oleh pelaku kekerasan di lingkungan anak, misal di sekolah, baik oleh guru atau teman sekolah, teman bermain, tetangga atau kenalan. Pemerintah juga bisa dijadikan sebagai pelaku kekerasan secara tidak langsung, dengan cara pemberlakuan undangundang yang membatasi hak anak, ataupun tidak adanya penyediaan sarana buat anak terutama anak yang cacat (fisik ataupun mental). Dampak kekerasan yang menimpa anak ditinjau dari segi kesehatan misalnya luka yang ringan, luka yang mengakibatkan kecacatan baik cacat fisik maupun cacat secara seksual (misalnya kehilangan kegadisan), bunuh diri akibat depresi, ataupun kematian baik yang disengaja maupun tidak. Alasan-alasan yang mendasari timbulnya KPA yang paling sering dikemukakan oleh pelaku (terutama orang tuadan guru) terhadap tindakannya (kekerasan) terhadap anak adalah dalam rangka mendidik anak.

Misalnya anak melakukan perbuatan yang dipandang negatif. Agar anak tidak mengulangi perbuatan, kadang orang tua memaki atau menjewer, dalam beberapa kasus sampai memukul anak. Pada kasus-kasus tersebut jarang terjadi kekerasan fisik pada anak yang mengakibatkan dampak negatif pada anak dalam jangka panjang. Alasan kedua yang sering terjadi adalah pelaku ingin agar anak melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Yang membedakan alasan kedua dari alasan pertama adalah motivasi pelaku dalam alasan kedua bukan karena pendidikan. Misalnya saja pelaku merasa terganggu karena anak rewel terus. Agar anak menjadi diam, pelaku menjewer anak. Alasan kedua sering menimbulkan dampak terhadap yang lebih parah baik dari segi fisik maupun psikologi terhadap anak daripada alasan pertama. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman sekolah bisa dimasukkan dalam golongan ini, sementara kekerasan yang dilakukan oleh guru bisa dimasukkan dalam golongan pertama ataupun kedua. Alasan yang ketiga adalah perbuatan kriminal, misalnya pembunuhan (secara disengaja) ataupun kekerasan seksual. Alasan ketiga biasanya menimbulkan akibat yang paling parah, misal kematian.

C. Kekerasan terhadap Anak Bertopeng Mendidik


Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka


Secara umum, ada sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang “nakal” atau “susah diatur”, sehingga tindak kekerasan terhadap mereka menemukan pembenarannya untuk maksud mendidik. Mereka mengatakan bahwa anak dengan karakter seperti itu tak dapat dididik dengan cara biasa, tetapi memang harus dengan tindak kekerasan. Ironisnya, pandangan dan sikap seperti ini bahkan juga dianut oleh kalangan pendidik, seperti guru di sekolah formal, atau para orangtua yang berpendidikan. Kerap kali media memberitakan tentang anak yang dipukul, dijewer, atau dimaki secara berlebihan di ruang kelas sebagai bentuk hukuman dengan dalih mendidik atau untuk memberi efek jera.
Perlakuan semacam ini masih terjadi karena kalangan pendidik di sekolah ataupun orangtua pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dampak kekerasan terhadap anak bagi kehidupan dan stabilitas psikologis mereka kelak. Tindak kekerasan itu hanya diletakkan dalam kerangka mendidik, dan tak diyakini dapat memberi dampak buruk kepada anak. Nyaris dapat dipastikan bahwa di masyarakat kita anak yang dikategorikan “nakal” atau “susah diatur” itu tidak akan mendapatkan perlakuan khusus yang lembut dan lebih baik untuk dapat diarahkan. Mereka dipastikan hanya akan mendapatkan tindak kekerasan.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan juga rentan terjadi pada anak yang dinilai bodoh atau bahkan idiot. Berkat pencitraan media, para orangtua saat ini begitu mengidealkan anak-anaknya untuk dapat berprestasi secara formal di sekolah, pintar menyanyi, lincah menjadi MC, dan semacamnya. Obsesi semacam ini bukannya tidak baik. Akan tetapi, fakta di lapangan yang sering muncul adalah bahwa obsesi semacam ini kadang kala melahirkan sikap yang tak wajar dalam mendidik anak. Anak dengan kemampuan IQ rendah sering mendapatkan perlakuan keras baik di keluarga maupun di kelas untuk dibentuk menjadi pintar dan berprestasi. Sementara yang lainnya sering kali secara berlebihan didorong sedemikian rupa untuk memenuhi impian dan obsesi para orangtua itu, sehingga sering merasa tertekan dan tak punya waktu untuk bermain—sikap yang tak mempertimbangkan hak-hak dan dunia anak yang sebenarnya khas.
Dari uraian singkat ini, tampak jelas bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi tindak kekerasan terhadap anak adalah sosialisasi atau penyadaran yang bersifat paradigmatik baik kepada para orangtua maupun kalangan pendidik bahwa kekerasan terhadap anak tak dapat dijadikan topeng sebagai dalih untuk mendidik. Bagaimanapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Ia hanya akan melahirkan jejak traumatis yang tidak baik dan tidak menyehatkan bagi perkembangan pribadi anak. Guru, orangtua, dan tokoh masyarakat secara paradigmatik harus memosisikan diri mereka sebagai sahabat anak, memperlakukan mereka secara setara layaknya manusia dengan karakter dan taraf kepribadian yang unik. Kita tentu tak ingin memiliki generasi penerus yang dibebani dan dibayang-bayangi oleh trauma kekerasan dalam dirinya.

Cara menghindari KPA:

1. Pemberian hukuman fisik yang tidak membahayakan anak

Jika anda sebagai orang tua merasa bahwa anak sering melakukan kesalahan yang

sama, dan segala macam nasihat maupun hukuman secara psikis tidak mempan,

dan anak perlu diberikan hukuman fisik, ada beberapa hal yang perlu anda

perhatikan:

a. Umur anak.

Bayi tidak boleh sedikitpun diberikan kekerasan fisik, apapun alasannya. Segala macam kekerasan fisik pada bayi hanya akan menimbulkan akibat buruk kepada bayi, dan sudah termasuk kejahatan. Seperti yang disebutkan di paragraf atas, hukuman fisik hanya dapat diberikan jika alternatif pendidikan yang lain sudah tidak mempan. Sampai umur 4-5 tahun sebaiknya anak tidak diberikan hukuman fisik. Pelaku hukuman pun sebaiknya dibatasi kepada pendidik langsung anak (misalnya hanya orang tua saja). Frekuensinya pun tidak boleh berlebihan. Biasanya dengan 1 atau maksimal 2 kali jeweran anak sudah cukup jera. Hukuman fisik pun hanya boleh dilakukan jika anak belum beranjak dewasa/puber. Pada taraf tersebut hukuman fisik tidak mempan lagi. Nasihat atau komunikasi biasanya lebih bermakna.

b. Hukuman fisik apa tidak boleh diberikan?

Anggota badan yang sama sekali tidak boleh menerima kekerasan fisik adalah kepala (yang berakibat pada gangguan otak, organ terpenting pada manusia). Selain itu sebaiknya dihindari kekerasan pada dada karena didalam dada terdapat 2 organ penting: jantung dan paru-paru. Terutama paru-paru amat rentan terhadap benturan yang bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. Yang juga dihindari adalah kekerasan pada bagian perut, karena didalamnya terdapat organ pencernaan, hati, limpa, pankreas, ginjal dan saluran kencing, serta organ peranakan pada wanita (ovarium dan uterus). Yang perlu diingat adalah, tidak seperti dada, perut tidak memiliki tulang yang bisa melindungi organ-organ didalamnya, sehingga perut cukup rentan juga terhadap benturan. Organ lain yang juga cukup penting adalah tangan dan kaki. Hukuman fisik dalam taraf sedang pun bisa mengakibatkan kecacatan pada anak walau biasanya tidak membahayakan jiwa. Seringkali kita mendengar atau membaca di media tentang hukuman fisik yang dilakukan dengan suatu alat, misalnya dengan tongkat atau sabuk. Pemberian hukuman tidak boleh dilakukan dengan menggunakan alat bantu, karena kualitas benturan dengan alat bantu lebih parah daripada dengan tangan kosong.

c. Hukuman yang boleh: jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga.

Jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga sudah cukup menimbulkan rasa sakit, namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kesehatan anak. Dengan hukuman tersebut, biasanya anak sudah cukup jera. Frekuensi yang diberikan pun hanya boleh 1-2 kali saja, tidak boleh sering, dan jangan memberikan jeweran yang terlalu dalam karena bisa mengenai syaraf yang bisa berakibat fatal. Jika anda memperhatikan bahwa anak tidak jera setelah diberikan jeweran, dan anda sudah terlalu sering memberikan hukuman, berarti makna hukuman fisik sudah tidak mempan, maka anda seharusnya pergi ke psikolog atau ke pemuka agama untuk mendapatkan saran-saran dalam mendidik anak. Misalnya anak sudah kecanduan obat-obatan, melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan, dimana hukuman fisik ringan tidak bisa lagi menyelesaikan masalah, maka hukuman fisik berat juga tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

2. Menghindari kekerasan seksual pada anak

Kekerasan seksual pada anak seringkali dilakukan tidak hanya oleh pelaku asing, namun juga bisa oleh kerabat dekat, misalnya paman, kakek atau bahkan guru sekolah. Kekerasan seksual sering menimpa anak perempuan walau tidak jarang anak laki-laki pun bisa terkena. Kadang kita tidak menyadarinya karena anak tidak pernah bercerita. Sementara anak tidak mengerti bahwa perbuatan meraba-raba alat kelamin yang dilakukan si pelaku adalah terlarang karena biasanya pelaku akan membujuk si anak. Lalu apa tindakan kita untuk mencegah hal tersebut? Pertama-tama kita harus memberikan pendidikan seksual yang benar kepada anak secara dini. Si anak mulai diajarkan untuk mengenali alat kelaminnya. Jika anak sudah mulai mengenal, maka anak bisa mengerti apakah seseorang berlaku kurang sopan terhadapnya atau tidak. Kedua: jika kita terpaksa menitipkan anak kita kepada seseorang, lebih baik titipkan anak kepada kenalan perempuan, misalnya ibu teman anak anda. Biasanya perempuan jarang melakukan kekerasan seksual. Ketiga: Rangsang anak anda untuk bercerita tentang aktivitas sehari-hari, baik di sekitar rumah dengan temantemannya maupun di sekolah. Jika memang pelaku melakukan perbuatannya, kadang si anak terceplos ketika dia bercerita kepada ibunya. Keempat: pada saat anda memandikan anak anda, berikan juga perhatian kepada daerah sekitar alat kelamin. Jika ada lebam atau memar atau anak meringis kesakitan jika anda menyentuh daerah tersebut, anda harus periksa lebih teliti dan jika perlu bawa ke dokter.

3. Menghindari kekerasan dari lingkungan.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekerasan tidak selalu muncul dari keluarga, namun juga dari lingkungan, misalnya lingkungan bermain anak atau sekolah. Pelakunya bisa dari tetangga, teman atau guru. Biasanya anak tidak berani bercerita kepada orang tua karena takut ancaman dari pelaku. Satu hal yang bisa membantu dalam menghindarinya adalah rangsang anak untuk bercerita tentang pengalamannya (atau apa saja yang dia lakukan) pada hari itu bersama temannya atau disekolahnya. Dengarkan apa yang diceritakan tanpa emberikan suatu komentar, sehingga anak mempunyai keberanian untuk bercerita tanpa rasa takut. Jika anak bercerita bahwa dia baru saja dipukul oleh teman atau gurunya, jangan telan mentah-mentah dan hal tersebut harus ditangani dengan

kepala dingin. Cek dengan seksama cerita anak tersebut (bisa saja lho anak anda yang berbohong). Jika hal tersebut dilakukan oleh teman anda, anda bisa memperhatikan ketika anak bergaul dengan temannya. Jika itu dilakukan oleh guru, mungkin anda bisa mengecek dengan cara bertanya kepada teman anak anda yang mungkin melihat peristiwa tersebut. Jika hal tersebut benar adanya, baru anda boleh bertindak.

E. Menangani Anak nakal tanpa Kekerasan

Bagi kita yang pernah duduk di bangku sekolah lanjutan, pasti kita kenal dengan istilah guru killer dengan sosoknya yang seram ala militer, jika menemukan masalah dengan siswa. Tanpa terlebih dahulu menanyakan akar permasalahan, maka kedua tanganlah yang bicara. Setelah itu baru bertanya apa penyebabnya. Begitu dominannya guru killer dalam menciptakan lingkungan sekolahnya yang kondusif. Sementara guru-guru yang lainnya tidak berperan. Padahal di sekolah itu ada guru BP. Mengapa guru BP tidak dioptimalkan. Perilaku semacam itu sangat tidak sesuai karena sangat bertentangan dengan perlindungan anak dan tentunya Hak Asasi Manusia (HAM). Guru seperti itu tampaknya lupa, siapa sebenarnya dirinya. Apa pantas seorang guru yang terhormat memperagakan kekerasan yang kurang tepat itu.

Kekerasan bukan satu-satunya yang jitu untuk menegakan disiplin jika pun itu sifatnya temporer. Mestinya kedisiplinan datang dari nurani siswa sendiri yang dibawa dari lingkungan sebelumnya (rumah, sekolah dibawahnya). Sebenarnya banyak cara menenamkan sikap disiplin di lingkungan disekolah. Salah satunya adalah adanya ketauladanan dari guru-guru itu sendiri. Bagaimana siswa akan taat kepada ucapan guru tentang larangan merokok di sekolah jika guru yang bersangkutan menyampaikannya sambil merokok di depan kelas. Ini hanya ilustrasi kecil yang masih bisa ditemui disekolah.

Untuk meminimalisir kekerasan di sekolah. Ada baiknya kita memperhatikan beberapa hal :

- Kita sebagai seorang pendidik harus mempunyai rasa kasih sayang kepada semua siswa. Terlepas siswa itu menurut atau pembangkang.

- Kita tidak boleh mempunyai anak emas. Semua siswa diperlakukan adil tidak tebang pilih. Anggap saja semua siswa anak kita.

- Anak yang cenderung nakal bisa diberi kepercayaan untuk membantu administrasi kelas yang ringan misalnya pencatat absensi kelas atau yang lainnya.

- Berikan rasa empati. Kita harus belajar bagaimana merasakan apa yang dirasakan siswa. Jika kita dipukul sakit apalagi siswa.

- Pendidik tidak boleh menambah beban penderitaannya Berikan hukuman yang mendidik. Artinya hukuman yang kita berikan harus membawa dampak positif bagi siswa, selain efek jera tentunya.

- Siswa tidak merasakan bahwa dirinya sedang dalam masa hukuman. Contohnya hukuman siswa diberikan tugas untuk membuat karangan, sajak, puisi, atau menggambar ditempat yang diterisolir. Ini agar tidak dijadikan bahan olok-olokan siswa lain.

- Berikan pemahaman kepada siswa yang lain agar menghargai seseorang yang sedang proses hukum. Sebab bukan tidak mungkin siswa yang lain akan mengalami hal yang sama.

E. Penutup

Bentuk kekerasan pada anak (KPA) dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua sendiri, guru, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketaksengajaan yang biasanya berlatar belakang upaya untuk mendidik anak-, kecelakaan maupun unsur sengaja yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental maupun kematian. Pengetahuan mengenai upaya-upaya untuk menghindari KPA amat diperlukan agar anak dapat menjalani masa perkembangannya dengan baik.

Timbulnya kekerasan sebagai akibat dari tidak kondusifnya sebuah kegiatan di sekolah. Yang paling aneh adalah tidak adanya evaluasi dan tidak lanjut terhadap apa yang terjadi. Seolah-olah dengan pemberian hukuman permasalahan akan selesai dengan sendirinya. Kekerasan tidak perlu terjadi. Karena sekolah mana pun tidak mengajarkan itu. Sekolah harus bertanggung jawab penuh atas dampak yang diakibatkan oleh kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Tidak bisa cuci tangan begitu saja ini semata-mata untuk mengembalikan citra sekolah hingga sekolah menjadi lembaga yang diharagai, diminati dan menjadi tumpuan harapan masa depan siswa oleh masyarkat. Yang paling sangat berbahaya adalah paradigma masyarakat pendidik (Guru ) yang meniru kekerasan yang ditayangkan media. . Di sinilah diperlukan daya saring yang kuat sebagai sebuah sikap yang perlu dimiliki oleh guru. Terakhir mari kita belajar memilih dan memilah prilaku yang ditawarkan dalam kehidupan ini.

Disampaikan
oleh Dr. H. Karyono Ibnu Ahmad dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh MGMP PAI Kab. Banjar, tanggal 3 Mei 2009)

0 komentar:

Posting Komentar