This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Yuk berbagi informasi dan pengetahuan. Semoga blog ini bermanfaat.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 12 September 2009

Ilmu Naskh dan Mansukh Hadits

A. Pendahuluan
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan meneladani beliau. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hasyr: 7:
وما ءتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
Artinya: “.... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah....”.
Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Dalam kaitan hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur’ân, ada hukum atau ketentuan yang disebut mansûkh (dihapus, datang lebih dahulu) dan nasîkh (menghaspus, yang datang kemudian dinamakan). Sesuatu yang datang kemudian kadang kala bisa menjadi patokan untuk menetapkan suatu hal yang baru dan menghilangkan kekuatan atau ketetapan yang sudah ada. Bukti atau argumen yang baru tersebut bisa jadi lebih kuat dan lebih dapat diperpegangi untuk menetapkan –hukum- yang baru.
Dalam pembahasan hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam, maka hadits juga mengalami an-Nasîkh wa al-Mansûkh, yaitu batalnya atau hilangnya suatu hukum syar’ie pada satu hadits karena datangnya hukum syar’i yang baru dari suatu hadits lain.
Tulisan berikut akan menyajikan materi berkenaan tentang ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh, baik pengertian, jalan mengetahui nasakh dan mansukh hadits, urgensi ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh dan kitab yang ditulis ulama mengenai nasakh dan mansukh.
B. Pengertian
Kata نسخ secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu: 1) al-izâlah (الإزالة) yang berarti menghilangkan, sebagaimana pada perkataan yang maksudnya “matahari menghilangkan bayangan” (نَسْخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ) dan pengertian lain bisa berarti 2) an-naql (النقل) yang berarti menyalin, sebagaimana pada perkataan نَسْخَتُ اْلكِتاَبُ (aku menyalin kitab).
Sedangkan pengertian an-naskh secara istilah yaitu seperti pendapat ulama ushul adalah:
رَفْعُ الشَّارِعُ حُكْماً شَرْعِيًّا بِدَلِـيْلٍ شَرْعِيٍّ مُـتَراَخٍ عَـنْهُ
Artinya: “syar’i mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian”. Atau pada pengertian lain disebutkan bahwa:
هُوَ رَفْعُ الشَّارِعُ حُكْماً مِـنْهُ مُتَـقَدِّماً بحُِكْمِ مِـنْهُ مَـتَأَخِّرُ
Artinya: “yaitu syar’ie mengangkat suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Dengan demikian yang dimaksud an-naskh dalam pengertian tersebut bahwa ketetapan hukum yang sudah tetap sebelumnya, menjadi tidak berlaku lagi atau diganti dengan ketetapan hukum yang baru berdasarkan dalil hadits (muhkam) yang datang kemudian yang memenuhi ketentuan syara’, namun demikian tidak termasuk dalam ketentuan ini jika suatu dalil menerangkan kekhususan dalil terdahulu (mujmal), atau jika dalil kemudian memberikan kekhususan (takhsis) terhadap dalil yang masih umum (‘am), juga jika suatu dalil mentaqyidkan dalil yang mutlak. Sehingga, jika suatu hadits tidak membatalkan kedudukan hukum hadits yang terdahulu, maka hal tersebut tidak termasuk nasakh.
Pengertian ilmu nasakh wa al-mansûkh dalam hadits adalah:
َالْعِلْمُ الَّذِى يُبْحَثُ عَنِ اْلأَحٰدِيْثِ اْلمُـتَعٰرِضَةِ الَّتِى لاَيُمْكِنُ التَّوْفِيْقُ بَيْنَهَا مِنْ حَيْثُ اْلحُكْمِ عَلىٰ بَعْضِهاَ بِاَنَّهُ ناَسِخٌ وَعَلىٰ بَعْضِهاَ اْلأَخَرِ بِاَنَّهُ مَنْسُوخٌ فَمَا ثَـبَتَ تَقَدُّمُهُ كاَنَ مَنْسُوخاً وَماَ ثَـبَتَ تَأَخُّرُهُ كاَنَ سِخاًّ
Artinya: “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang yang pada akhirnya terjadi saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang lebih dahulu disebut mansûkh dan yang datang kemudian dinamakan nasîkh.”
Dari pengertian tersebut kita ketahui bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh memfokuskan pembahasan pada hadits-hadits yang berlawanan atau bertentangan dari segi hukum yang mengakibatkan terjadinya pengahapusan salah satu diantara keduanya.
‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh sangat penting dalam ilmu hadits bahkan merupakan suatu kewajiban yang sangat penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat, karena seorang yang akan membahas ilmu syari’at tidak akan bisa menetapkan suatu hukum dari dalil-dalil nash hadits, tanpa terlebih dahulu mengetahui mana dalil hadits yang sudah dinasakh dan mana dalil hadits mansûkhnya. Karena sulit dan pentingnya, Al-Zuhry menyatakan bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha, hal tersebut dikarenakan tingginya tingkat kesulitan ilmu tersebut, terutama ketika melakukan istinbat hukumnya dari suatu nash yang samar-samar.
Al-Hazimy menyatakan bahwa ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh termasuk sarana penyempurna ijtihad, Karena diketahui dalam berijtihad harus ada kesanggupan dan seorang mujtahid untuk menarik atau mengambil suatu kesimpulan dari dalil-dalil nash dan ketika menukil dalil nash tersebut mestilah mengtahui mana dalil yang sudah diangkat (mansûkh) dan mana dalil nash yang mengangkatnya (nâsikh).
Seseorang dapat mengetahui bahwa suatu hadits mansûkh oleh hadits yang datang kemudian adalah berdasarkan: 1). Pernyataan dari Rasulullah SAW., 2). Penjelasan dari shahabat; dan 3). Dengan mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits. Berikut penjelasan dan contoh hadits yang dihapus dan menghapus:
1. Pernyataan dari Rasulullah SAW;
Adakalanya satu hadits berisi pernyataan nasakh dan mansukh terhadap suatu ketetapan hukum, dimana dalam satu hadits tersebut terdapat dua macam hukum yang terlihat bertentangan, seperti contoh hadits berikut:
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْـتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Buraidah ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah qubur, maka sekarang ziarahilah qubur” (HR. Muslim)
Pada hadits tersebut terdapat dua pernyataan Rasulullah tentang ziarah qubur, yaitu pertama bahwa beliau pernah melarang menziarahi qubur, dengan kalimat “كُنْتُ نَهَيْـتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ”, tetapi pada pernyataan kedua beliau membolehkan kaum muslimin menziarahi qubur, dengan kata beliau “فَزُوْرُوْهاَ”.
2. Penjelasan dari shahabat;
Dalam masalah ini shahabat menjelaskan atau menyampaikan satu hadits dari nabi dengan menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan, menyetujui, atau mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam satu hadits, seperti dalam hadits tentang batalnya wudhu karena makan sesuatu yang sudah dimasak, diberitakan dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz bahwa Abdullah bin Ibrahim bin Qarizh mengabarkan bahwa Ia mendapati (melihat) Abu Hurairah sedang berwudhu di Masjid, lalu Abu Hurairah berkata:
اِنَّماَ اَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْواَرِ أَقِطٍ اَكَلْـتُهاَ, لاَِنيِّ سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: تَوَضَّـؤُوْا ممِاَّ مَسَّتِ الناَّرُ (رواه مسلم)
Artinya: Sesungguhnya aku berwudhu karena telah makan sepotong keju, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang telah dimasak”. (HR. Muslim)
عَنْ جاَبِرِ بْنِ سمَُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ؟ قاَلَ: إِنْ شِئْتَ فَـتَوَضَّأ,ْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَـتَوَضَّأْ, قاَلَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ؟ قاَلَ: نَعَمْ, فَـتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir bin Samurah ra., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah aku harus berwudhu karena makan daging kambing?”, Rasulullah SAW bersabda: “Jika mau, silahkan berwudhu, tapi jika tidak, janganlah berwudhu”. Laki-laki itu bertana lagi: “Apakah aku harus berwudhu, karena telah makan masakan daging unta?”, Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena talah makan masakan daging unta”. (HR. Muslim).
Pada hadits tersebut dijelaskan sahabat, Jabir bin Samurah, mengabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya tentang apakah ia harus berwudhu setelah makan masakan (daging unta yang dimasak) dan Rasulullah SAW melarang memakan daging yang sudah dimasak.
Hadits tersebut dinasakh oleh hadist yang juga dikabarkan oleh seorang sahabat yang bernama Ja’far bin Amri sebagai berikut:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرو بْنِ أُمَـيَّةَ الضِّمْرِيِّ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّـهُ رَأٰى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يحَْـَتزُّ مِنْ كَـتِفِ شَاةٍ, فَاَكَلَ مِنْهاَ, فَدُعِيَ إِلىٰ الصَّلاَةِ, فَقاَمَ, وَطَرَحَ السِّكِّيْنَ, وَصَلىّٰ, وَلَمْ يَـتَوَضَّأْ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ja’far bin Amri bin Umayyah ad-Dhimriy, dari ayahnya, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW memotong sekerat masakan daging kambing dan memakannya. Tiba-tiba kedengaran adzan shalat, beliau berdiri dan meletakkan pisaunya, langsung shalat tanpa berwudhu lebih dahulu” (HR. Muslim)
Dengan demikian kabar dari sahabat Rasulullah pada hadits pertama tentang pernyataan Nabi terhadap batalnya wudhu karena makan daging yang telah dimasak, dinasakh oleh hadits kedua yang juga kabar dari sahabat tentang perbuatan Nabi yang tidak berwudhu dahulu ketika melaksanakan shalat, meskipun Beliau telah makan daging yang telah dimasak.
3. Dengan mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits:
Sejarah (tarikh) keluarnya hadits juga perlu diketahui untuk menetapkan bahwa ketetapan hukum pada satu hadits dinasakh oleh hadits lain yang datang kemudian, artinya seorang yang hendak menetapkan suatu hukum mesti mengetahui lebih dahulu mana hadits yang datang (dikeluarkan oleh Nabi) pertama dan mana hadits yang datang kemudian.
Seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang berbekam terdapat dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari Hasan;
وَيُرْوٰى عَنْ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوْعاً فَقاَلَ أَفْطَرَ اْلحٰجِمُ وَاْلمَحْجُوْمُ (رواه البخارى)
Artinya: dan diriwayatkan dari Hasan dari yang lainnya secara marfu’ (Nabi SAW) bersabda “Batal puasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Bukhari)
Hadits tersebut kemudian dinasakh oleh hadits yang datang kemudian, seperti sabda Rasululah SAW:
حَدَّثَـناَ مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَـناَ وُهَيْبٌ عَنْ أَيُوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضَيَ اللهُ عَنْهُماَ أَنَّ النَّـِبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِحْـتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْـتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه البخاري)
Artinya: Ibnu Asad mengabarkan kepada kami, Wuhaib mengabarkan kepada kami dari Ayub dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs ra. bahwa Nabi SAW berbekam sedang beliau dalam keadaan berihram dan berpuasa. (HR. Bukhari)
Nûr al-Dîn ‘Îtr dalam Minhaj al-Naqd fî ’Ulûm al-Hadits mengutip pendapat Imam al-Muthalaby Muhammad bin Idrîs al-Syafi’iy, beliau menyatakan bahwa hadits kedua menasakh hadits yang pertama, hal tersebut karena ada penjelasan atau bukti yang benar dan menguatkan bahwa hadits pertama terjadi pada saat penaklukkan kota Mekkah, tahun 8 H. Sedang pada hadits yang kedua terjadi pada peristiwa haji wada’ yaitu pada tahun 10 H ,
Jadi selain keterangan lansung dari Nabi SAW atau sahabat-sahabat beliau, sejarah atau urutan –hadits mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian- keluarnya suatu juga sangat menentukan dan berpengaruh dalam penetapan suatu hukum syara’, karena bisa saja seorang yang tidak mengetahui bahwa satu hadits sudah tidak muhkam lagi karena dihapus oleh hadits yang datang pada beberapa saat atau tahun kemudian, akan salah menetapkan suatu hukum.

C. Urgensi ‘Ilmu al-Naskh wa al-Mansûkh Hadits
Suatu hari ‘Ali bin Abu Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadhi, lalu beliau menanyakan sesuatu kepada qadhi tersebut, “Apakah kamu mengenal nasîkh dan mansûkh suatu hadits?”, sang qadhi kemudian menjawab “Tidak”, ‘Ali bin Abu Thalib “celakahkah kamu dan juga orang lain”.
Diriwayatkan lagi bahwa Imam Ahmad bertanya kepada Ibnu Warih tentang apakah Ibnu Warih mengutip tulisan-tulisan Imam Syafi’i, tetapi Ibnu Warih menjawab bahwa beliau tidak mencatatnya. Kemudian Iman Ahmad berkata “Celakalah Kamu, Kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassar serta nasakh dan mansûkhnya suatu hadits sebelum kita semua ini duduk berguru dengan Imam Syafi’i”.
Kedua cerita tersebut, menjadi dasar bagi kita tentang pentingnya ilmu Nâsikh dan Mansûkh, disamping bahwa mengetahui hal tersebut adalah suatu keharusan bagi siapa pun yang menekuni dan mengkaji hukum-hukum syara guna menetapkan suatu hukum syar’i, karena tidak akan memungkinkan bagi seorang untuk dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil Nâsikh dan Mansûkh dalam masalah yang hendak disimpulkan hukumnya tersebut.
Karenanya ulama berpendapat bahwa ilmu Nâsikh dan Mansûkh adalah suatu ilmu yang penting bagi kemaslahatan umat, karena akan berdampak pada penetapan hukum, meskipun al-Zuhri mengatakan bahwa mengetahui Nâsikh dan Mansûkh suatu hadits merupakan usaha yang memayahkan dan menghabiskan energi pada fuqaha.

D. Kitab-Kitab yang Berkenaan dengan Nâsikh dan Mansûkh Hadits
Kemunculan Nâsikh dan Mansûkh sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri jauh sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, meskipun sebagai suatu ilmu sudah ada sejak pendewanan hadits (tadwîn al-hadîts) pada awal abad pertama. Di antara ulama yang memberikan kontribusi tentang nâsikh dan mansûkh dalam hadits, yaitu:
1. Qatadah bin Di’amah al-Sudusy (61-118 H), beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Nâsikh dan Mansûkh, di mana beliau membuat sebuah karya yang berjudul al-Nâsikh wa al-Mansûkh, namun kitab tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena hilang.
2. Imam Al-Hafizh Al-Nassabah Abu Bakr Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Handani (w.584 H) dengan kitab karya beliau; Al-I’tibâr fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr. Kitab tersebut sudah disusun secara sistematis menurut bab-bab fiqhiyyah, di mana pada setiap bab beliau mengemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan, namun beliau juga tidak mengabaikan pendapat para ulama disamping pendapat beliau sendiri sekaligus Nâsikh dan Mansûkhnya.
3. Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H) yang merupakan sahabat dari Imam Ahmad, memberikan konstribusi berupa kitab Nâsikh wa al-Mansûkhihi yang terdiri dari 3 juz.
4. Abu Hafshin bin Ahmad al-Bagdady (Ibnu Syahin) (297-285) seorang ulama Irak, mengarang kitab Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuhu yang terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan, tetapi sekarang tersimpan di perpustakaan Nasional Paris (Francis) dan satu naskah lagi berada di Perpustakaan Escorial (Spanyol).
5. Abu al-Fajr Abd al-Rahman bin ‘Ali (lebih dikenal sebagai Ibu al-Jauzi) dengan karyanya Al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkh.

E. Kesimpulan
Dari uraian tentang ilmu nâsikh dan mansûkh hadits, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Secara bahasa nâsikh berarti: 1) al-izâlah (menghilangkan) dan 2) an-naql (menyalin). Secara istilah berarti: mengangkat syar’i (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian. Sebagai suatu ilmu dapat diformulasikan menjadi: Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang yang pada akhirnya terjadi saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang lebih dahulu disebut mansûkh dan yang datang kemudian dinamakan nasîkh.
2. Tidak termasuk ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh jika suatu dalil menerangkan kekhususan dalil terdahulu (mujmal), atau jika dalil kemudian memberikan kekhususan (takhsis) terhadap dalil yang masih umum (‘am), juga jika suatu dalil mentaqyidkan dalil yang mutlak.
3. ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh termasuk sarana penyempurna ijtihad, walaupun paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha.
4. Cara mengetahui bahwa suatu hadits mansûkh oleh hadits yang datang kemudian adalah: a) Pernyataan dari Rasulullah SAW, b) Penjelasan dari shahabat, c) mengetahui sejarah (tarikh) keluarnya hadits.
5. ‘Ilmu al-Nâsikh al-Hadîts wa al-Mansûkhuh menjadi penting karena tidak memungkinkan bagi seorang untuk dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil Nâsikh dan Mansûkh.

Kekerasan Pendidikan di Sekolah

A. Rasionalisasi pendidikan anak oleh orang tua dan guru ( pendidik )

Untuk menjadi pendidik yang baik memang tidak gampang. Jika terlalu keras dalam mendidik anak, perkembangan anak menjadi negatif. Namun jika anak hanya diberikan kasih sayang, segala keinginan anak dipenuhi, juga bukan solusi yang baik. Ketika anak sudah mulai mengerti hal-hal konsepsual (biasanya ketika anak menginjak umur 3 tahun), pada diri anak mulai muncul paham ego. Anak mulai mengembangkan perasaan memiliki,semua barang yang disekitar anak merasa dimilikinya. Ketika anak melihat suatu barang, anak ingin memiliki dan berusaha untuk memiliki. Pada fase perkembangan berikutnya, baru anak mengembangkan perasaan superego, dimana anak mulai mengenali norma-norma kehidupan (apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan). Jika fase ini gagal, maka anak tidak pernah mengenal rasa bersalah atau rasa takut jika anak melakukan suatu kesalahan. Disini anak mempunyai potensial untuk berkembang negara. Untuk itu pendidik harus membantu dalam proses perkembangan anak. pendidik harus memperkenalkan anak tentang norma-norma dan peraturan, dengan cara mendidik anak. Hanya dengan cara demikian, anak bisa tumbuh menjadi orang yang baik. Dalam mendidik anak, pendidik harus memberikan pengertian dan nasihat kepada anak. Seringkali pengertian dan nasihat orang tua tidak cukup. Jika anak tetap melakukan kesalahan yang sama yang berulang-ulang, tidak ada pilihan bagi orang tua untuk memberikan hukuman. Bukankah orang dewasa juga dihukum jika melanggar peraturan? Anak seharusnya diperkenalkan bahwa dia melakukan kesalahan maka anak bisa dihukum.

B. Kekerasan Pendidikan Anak (KPA)

Batasan KPA agak sulit untuk bisa didefinisikan dengan jelas. Ada yang menuliskan bahwa kekerasaan pada anak meliputi makian, jeweran dan pukulan terhadap anak. Sedangkan pendapat yang lain disebutkan bahwa larangan orang tua terhadap suatu aktivitas yang disukai anak sudah termasuk KPA. Karena batasan-batasan tentang KPA tidak jelas, maka KPA dapat didefinisikan sebagai bentuk pembatasan hak-hak anak yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak.

Bentuk KPA yang terjadi banyak macamnya. Kekerasan paling sering dilakukan oleh anggota keluarga terdekat atau anggota rumah, misal orang tua, saudara, atau paman. Peringkat kedua diduduki oleh pelaku kekerasan di lingkungan anak, misal di sekolah, baik oleh guru atau teman sekolah, teman bermain, tetangga atau kenalan. Pemerintah juga bisa dijadikan sebagai pelaku kekerasan secara tidak langsung, dengan cara pemberlakuan undangundang yang membatasi hak anak, ataupun tidak adanya penyediaan sarana buat anak terutama anak yang cacat (fisik ataupun mental). Dampak kekerasan yang menimpa anak ditinjau dari segi kesehatan misalnya luka yang ringan, luka yang mengakibatkan kecacatan baik cacat fisik maupun cacat secara seksual (misalnya kehilangan kegadisan), bunuh diri akibat depresi, ataupun kematian baik yang disengaja maupun tidak. Alasan-alasan yang mendasari timbulnya KPA yang paling sering dikemukakan oleh pelaku (terutama orang tuadan guru) terhadap tindakannya (kekerasan) terhadap anak adalah dalam rangka mendidik anak.

Misalnya anak melakukan perbuatan yang dipandang negatif. Agar anak tidak mengulangi perbuatan, kadang orang tua memaki atau menjewer, dalam beberapa kasus sampai memukul anak. Pada kasus-kasus tersebut jarang terjadi kekerasan fisik pada anak yang mengakibatkan dampak negatif pada anak dalam jangka panjang. Alasan kedua yang sering terjadi adalah pelaku ingin agar anak melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Yang membedakan alasan kedua dari alasan pertama adalah motivasi pelaku dalam alasan kedua bukan karena pendidikan. Misalnya saja pelaku merasa terganggu karena anak rewel terus. Agar anak menjadi diam, pelaku menjewer anak. Alasan kedua sering menimbulkan dampak terhadap yang lebih parah baik dari segi fisik maupun psikologi terhadap anak daripada alasan pertama. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman sekolah bisa dimasukkan dalam golongan ini, sementara kekerasan yang dilakukan oleh guru bisa dimasukkan dalam golongan pertama ataupun kedua. Alasan yang ketiga adalah perbuatan kriminal, misalnya pembunuhan (secara disengaja) ataupun kekerasan seksual. Alasan ketiga biasanya menimbulkan akibat yang paling parah, misal kematian.

C. Kekerasan terhadap Anak Bertopeng Mendidik


Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka


Secara umum, ada sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang “nakal” atau “susah diatur”, sehingga tindak kekerasan terhadap mereka menemukan pembenarannya untuk maksud mendidik. Mereka mengatakan bahwa anak dengan karakter seperti itu tak dapat dididik dengan cara biasa, tetapi memang harus dengan tindak kekerasan. Ironisnya, pandangan dan sikap seperti ini bahkan juga dianut oleh kalangan pendidik, seperti guru di sekolah formal, atau para orangtua yang berpendidikan. Kerap kali media memberitakan tentang anak yang dipukul, dijewer, atau dimaki secara berlebihan di ruang kelas sebagai bentuk hukuman dengan dalih mendidik atau untuk memberi efek jera.
Perlakuan semacam ini masih terjadi karena kalangan pendidik di sekolah ataupun orangtua pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dampak kekerasan terhadap anak bagi kehidupan dan stabilitas psikologis mereka kelak. Tindak kekerasan itu hanya diletakkan dalam kerangka mendidik, dan tak diyakini dapat memberi dampak buruk kepada anak. Nyaris dapat dipastikan bahwa di masyarakat kita anak yang dikategorikan “nakal” atau “susah diatur” itu tidak akan mendapatkan perlakuan khusus yang lembut dan lebih baik untuk dapat diarahkan. Mereka dipastikan hanya akan mendapatkan tindak kekerasan.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan juga rentan terjadi pada anak yang dinilai bodoh atau bahkan idiot. Berkat pencitraan media, para orangtua saat ini begitu mengidealkan anak-anaknya untuk dapat berprestasi secara formal di sekolah, pintar menyanyi, lincah menjadi MC, dan semacamnya. Obsesi semacam ini bukannya tidak baik. Akan tetapi, fakta di lapangan yang sering muncul adalah bahwa obsesi semacam ini kadang kala melahirkan sikap yang tak wajar dalam mendidik anak. Anak dengan kemampuan IQ rendah sering mendapatkan perlakuan keras baik di keluarga maupun di kelas untuk dibentuk menjadi pintar dan berprestasi. Sementara yang lainnya sering kali secara berlebihan didorong sedemikian rupa untuk memenuhi impian dan obsesi para orangtua itu, sehingga sering merasa tertekan dan tak punya waktu untuk bermain—sikap yang tak mempertimbangkan hak-hak dan dunia anak yang sebenarnya khas.
Dari uraian singkat ini, tampak jelas bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi tindak kekerasan terhadap anak adalah sosialisasi atau penyadaran yang bersifat paradigmatik baik kepada para orangtua maupun kalangan pendidik bahwa kekerasan terhadap anak tak dapat dijadikan topeng sebagai dalih untuk mendidik. Bagaimanapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Ia hanya akan melahirkan jejak traumatis yang tidak baik dan tidak menyehatkan bagi perkembangan pribadi anak. Guru, orangtua, dan tokoh masyarakat secara paradigmatik harus memosisikan diri mereka sebagai sahabat anak, memperlakukan mereka secara setara layaknya manusia dengan karakter dan taraf kepribadian yang unik. Kita tentu tak ingin memiliki generasi penerus yang dibebani dan dibayang-bayangi oleh trauma kekerasan dalam dirinya.

Cara menghindari KPA:

1. Pemberian hukuman fisik yang tidak membahayakan anak

Jika anda sebagai orang tua merasa bahwa anak sering melakukan kesalahan yang

sama, dan segala macam nasihat maupun hukuman secara psikis tidak mempan,

dan anak perlu diberikan hukuman fisik, ada beberapa hal yang perlu anda

perhatikan:

a. Umur anak.

Bayi tidak boleh sedikitpun diberikan kekerasan fisik, apapun alasannya. Segala macam kekerasan fisik pada bayi hanya akan menimbulkan akibat buruk kepada bayi, dan sudah termasuk kejahatan. Seperti yang disebutkan di paragraf atas, hukuman fisik hanya dapat diberikan jika alternatif pendidikan yang lain sudah tidak mempan. Sampai umur 4-5 tahun sebaiknya anak tidak diberikan hukuman fisik. Pelaku hukuman pun sebaiknya dibatasi kepada pendidik langsung anak (misalnya hanya orang tua saja). Frekuensinya pun tidak boleh berlebihan. Biasanya dengan 1 atau maksimal 2 kali jeweran anak sudah cukup jera. Hukuman fisik pun hanya boleh dilakukan jika anak belum beranjak dewasa/puber. Pada taraf tersebut hukuman fisik tidak mempan lagi. Nasihat atau komunikasi biasanya lebih bermakna.

b. Hukuman fisik apa tidak boleh diberikan?

Anggota badan yang sama sekali tidak boleh menerima kekerasan fisik adalah kepala (yang berakibat pada gangguan otak, organ terpenting pada manusia). Selain itu sebaiknya dihindari kekerasan pada dada karena didalam dada terdapat 2 organ penting: jantung dan paru-paru. Terutama paru-paru amat rentan terhadap benturan yang bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. Yang juga dihindari adalah kekerasan pada bagian perut, karena didalamnya terdapat organ pencernaan, hati, limpa, pankreas, ginjal dan saluran kencing, serta organ peranakan pada wanita (ovarium dan uterus). Yang perlu diingat adalah, tidak seperti dada, perut tidak memiliki tulang yang bisa melindungi organ-organ didalamnya, sehingga perut cukup rentan juga terhadap benturan. Organ lain yang juga cukup penting adalah tangan dan kaki. Hukuman fisik dalam taraf sedang pun bisa mengakibatkan kecacatan pada anak walau biasanya tidak membahayakan jiwa. Seringkali kita mendengar atau membaca di media tentang hukuman fisik yang dilakukan dengan suatu alat, misalnya dengan tongkat atau sabuk. Pemberian hukuman tidak boleh dilakukan dengan menggunakan alat bantu, karena kualitas benturan dengan alat bantu lebih parah daripada dengan tangan kosong.

c. Hukuman yang boleh: jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga.

Jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga sudah cukup menimbulkan rasa sakit, namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kesehatan anak. Dengan hukuman tersebut, biasanya anak sudah cukup jera. Frekuensi yang diberikan pun hanya boleh 1-2 kali saja, tidak boleh sering, dan jangan memberikan jeweran yang terlalu dalam karena bisa mengenai syaraf yang bisa berakibat fatal. Jika anda memperhatikan bahwa anak tidak jera setelah diberikan jeweran, dan anda sudah terlalu sering memberikan hukuman, berarti makna hukuman fisik sudah tidak mempan, maka anda seharusnya pergi ke psikolog atau ke pemuka agama untuk mendapatkan saran-saran dalam mendidik anak. Misalnya anak sudah kecanduan obat-obatan, melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan, dimana hukuman fisik ringan tidak bisa lagi menyelesaikan masalah, maka hukuman fisik berat juga tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

2. Menghindari kekerasan seksual pada anak

Kekerasan seksual pada anak seringkali dilakukan tidak hanya oleh pelaku asing, namun juga bisa oleh kerabat dekat, misalnya paman, kakek atau bahkan guru sekolah. Kekerasan seksual sering menimpa anak perempuan walau tidak jarang anak laki-laki pun bisa terkena. Kadang kita tidak menyadarinya karena anak tidak pernah bercerita. Sementara anak tidak mengerti bahwa perbuatan meraba-raba alat kelamin yang dilakukan si pelaku adalah terlarang karena biasanya pelaku akan membujuk si anak. Lalu apa tindakan kita untuk mencegah hal tersebut? Pertama-tama kita harus memberikan pendidikan seksual yang benar kepada anak secara dini. Si anak mulai diajarkan untuk mengenali alat kelaminnya. Jika anak sudah mulai mengenal, maka anak bisa mengerti apakah seseorang berlaku kurang sopan terhadapnya atau tidak. Kedua: jika kita terpaksa menitipkan anak kita kepada seseorang, lebih baik titipkan anak kepada kenalan perempuan, misalnya ibu teman anak anda. Biasanya perempuan jarang melakukan kekerasan seksual. Ketiga: Rangsang anak anda untuk bercerita tentang aktivitas sehari-hari, baik di sekitar rumah dengan temantemannya maupun di sekolah. Jika memang pelaku melakukan perbuatannya, kadang si anak terceplos ketika dia bercerita kepada ibunya. Keempat: pada saat anda memandikan anak anda, berikan juga perhatian kepada daerah sekitar alat kelamin. Jika ada lebam atau memar atau anak meringis kesakitan jika anda menyentuh daerah tersebut, anda harus periksa lebih teliti dan jika perlu bawa ke dokter.

3. Menghindari kekerasan dari lingkungan.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekerasan tidak selalu muncul dari keluarga, namun juga dari lingkungan, misalnya lingkungan bermain anak atau sekolah. Pelakunya bisa dari tetangga, teman atau guru. Biasanya anak tidak berani bercerita kepada orang tua karena takut ancaman dari pelaku. Satu hal yang bisa membantu dalam menghindarinya adalah rangsang anak untuk bercerita tentang pengalamannya (atau apa saja yang dia lakukan) pada hari itu bersama temannya atau disekolahnya. Dengarkan apa yang diceritakan tanpa emberikan suatu komentar, sehingga anak mempunyai keberanian untuk bercerita tanpa rasa takut. Jika anak bercerita bahwa dia baru saja dipukul oleh teman atau gurunya, jangan telan mentah-mentah dan hal tersebut harus ditangani dengan

kepala dingin. Cek dengan seksama cerita anak tersebut (bisa saja lho anak anda yang berbohong). Jika hal tersebut dilakukan oleh teman anda, anda bisa memperhatikan ketika anak bergaul dengan temannya. Jika itu dilakukan oleh guru, mungkin anda bisa mengecek dengan cara bertanya kepada teman anak anda yang mungkin melihat peristiwa tersebut. Jika hal tersebut benar adanya, baru anda boleh bertindak.

E. Menangani Anak nakal tanpa Kekerasan

Bagi kita yang pernah duduk di bangku sekolah lanjutan, pasti kita kenal dengan istilah guru killer dengan sosoknya yang seram ala militer, jika menemukan masalah dengan siswa. Tanpa terlebih dahulu menanyakan akar permasalahan, maka kedua tanganlah yang bicara. Setelah itu baru bertanya apa penyebabnya. Begitu dominannya guru killer dalam menciptakan lingkungan sekolahnya yang kondusif. Sementara guru-guru yang lainnya tidak berperan. Padahal di sekolah itu ada guru BP. Mengapa guru BP tidak dioptimalkan. Perilaku semacam itu sangat tidak sesuai karena sangat bertentangan dengan perlindungan anak dan tentunya Hak Asasi Manusia (HAM). Guru seperti itu tampaknya lupa, siapa sebenarnya dirinya. Apa pantas seorang guru yang terhormat memperagakan kekerasan yang kurang tepat itu.

Kekerasan bukan satu-satunya yang jitu untuk menegakan disiplin jika pun itu sifatnya temporer. Mestinya kedisiplinan datang dari nurani siswa sendiri yang dibawa dari lingkungan sebelumnya (rumah, sekolah dibawahnya). Sebenarnya banyak cara menenamkan sikap disiplin di lingkungan disekolah. Salah satunya adalah adanya ketauladanan dari guru-guru itu sendiri. Bagaimana siswa akan taat kepada ucapan guru tentang larangan merokok di sekolah jika guru yang bersangkutan menyampaikannya sambil merokok di depan kelas. Ini hanya ilustrasi kecil yang masih bisa ditemui disekolah.

Untuk meminimalisir kekerasan di sekolah. Ada baiknya kita memperhatikan beberapa hal :

- Kita sebagai seorang pendidik harus mempunyai rasa kasih sayang kepada semua siswa. Terlepas siswa itu menurut atau pembangkang.

- Kita tidak boleh mempunyai anak emas. Semua siswa diperlakukan adil tidak tebang pilih. Anggap saja semua siswa anak kita.

- Anak yang cenderung nakal bisa diberi kepercayaan untuk membantu administrasi kelas yang ringan misalnya pencatat absensi kelas atau yang lainnya.

- Berikan rasa empati. Kita harus belajar bagaimana merasakan apa yang dirasakan siswa. Jika kita dipukul sakit apalagi siswa.

- Pendidik tidak boleh menambah beban penderitaannya Berikan hukuman yang mendidik. Artinya hukuman yang kita berikan harus membawa dampak positif bagi siswa, selain efek jera tentunya.

- Siswa tidak merasakan bahwa dirinya sedang dalam masa hukuman. Contohnya hukuman siswa diberikan tugas untuk membuat karangan, sajak, puisi, atau menggambar ditempat yang diterisolir. Ini agar tidak dijadikan bahan olok-olokan siswa lain.

- Berikan pemahaman kepada siswa yang lain agar menghargai seseorang yang sedang proses hukum. Sebab bukan tidak mungkin siswa yang lain akan mengalami hal yang sama.

E. Penutup

Bentuk kekerasan pada anak (KPA) dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua sendiri, guru, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketaksengajaan yang biasanya berlatar belakang upaya untuk mendidik anak-, kecelakaan maupun unsur sengaja yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental maupun kematian. Pengetahuan mengenai upaya-upaya untuk menghindari KPA amat diperlukan agar anak dapat menjalani masa perkembangannya dengan baik.

Timbulnya kekerasan sebagai akibat dari tidak kondusifnya sebuah kegiatan di sekolah. Yang paling aneh adalah tidak adanya evaluasi dan tidak lanjut terhadap apa yang terjadi. Seolah-olah dengan pemberian hukuman permasalahan akan selesai dengan sendirinya. Kekerasan tidak perlu terjadi. Karena sekolah mana pun tidak mengajarkan itu. Sekolah harus bertanggung jawab penuh atas dampak yang diakibatkan oleh kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Tidak bisa cuci tangan begitu saja ini semata-mata untuk mengembalikan citra sekolah hingga sekolah menjadi lembaga yang diharagai, diminati dan menjadi tumpuan harapan masa depan siswa oleh masyarkat. Yang paling sangat berbahaya adalah paradigma masyarakat pendidik (Guru ) yang meniru kekerasan yang ditayangkan media. . Di sinilah diperlukan daya saring yang kuat sebagai sebuah sikap yang perlu dimiliki oleh guru. Terakhir mari kita belajar memilih dan memilah prilaku yang ditawarkan dalam kehidupan ini.

Disampaikan
oleh Dr. H. Karyono Ibnu Ahmad dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh MGMP PAI Kab. Banjar, tanggal 3 Mei 2009)

Selasa, 08 September 2009

Dampak Perubahan Sosial Masyarakat terhadap Pendidikan Islam

A. Pendahuluan

Kehidupan itu adalah suatu yang dinamis, dengan demikian setiap kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan, dan pada konteks manusia, maka manusiapun juga akan mengalami perubahan, baik ia sebagai individu maupun masyarakat. Dan dalam perubahan yang terjadi pada masyarakat (sebagai kumpulan dari individu-individu) bisa terjadi dalam pola perilaku individu maupun organisasi, perubahan dalam norma sosial, interaksi juga termasuk pendidikan.

Karena kehidupan itu dinamis, maka perubahan yang terjadi adalah suatu fenomena yang lumrah atau normal pengaruhnya bahkan bisa menjalar dan merambah kebagian belahan dunia lain dengan cepat dan efektif karena didukung oleh kemajuan komunikasi yang canggih dan modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi tanpa kita sadari juga sangat mempengaruhi perubahan sosial yang juga akan berdampak pada pendidikan.

Suatu perubahan sosial yang terjadi sekecil apapun mungkin akan berakibat pada struktur kehidupan masyarakat yang lainnya, isalnya pada perubahan gaya berpakaian akan menghasilkan akbibat pada ekonomi masyarakat, karena suatu model yang tren akan senantiasa diikuti masyarakat yang menyenangi model-model pakaian yang terbaru. Sama halnya dampak dari perubahan sosial akan berakibat pada pendidikan Islam pada khususnya. Makalah berikut mencoba menggali dampak dari perubahan sosial masyarakat terhadap pendidikan Islam.

B. Landasan Teoritis

  1. Pengertian Perubahan Sosial

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia perubahan berarti hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran.[1] Sedangkan sosial adalah hal yang berkenaan dengna masyarakat.[2] Perubahan sosial adalah berubahnya struktur atau susunan sosial (kemasyarakatan) dalam suatu masyarakat. Perunahan tersebut merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap tatanan masyarakat, perubahan itu juga terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain yang lebih baik. Pudjiwati Sajagyo mengutip pendapat Hirschman yang mengatakan bahwa kebosanan manusia adalah penyebab suatu perubahan.[3] Manusia sering tidak puas dan bosan pada satu keadaan dan berusaha untuk mencari cara atau alternatif lainnya untuk menghilangkan kebosanannya dan menemukan cara baru yang lebih menyenangkan, mudah dan murah. Bisa kita lihat pada revolusi teknologi transportasi yang demikian canggih hingga berakibat pada perubahan pola mobilisasi manusia.

Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur budaya materiil dan immateriil,[4] artinya setiap unsur budaya masyarakat yang bersifat materiil dan immateriil (sprituil) juga rentan atau cendrung terhadap perubahan. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Kingsley Davis yang mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat,[5] sehingga akan disebut suatu perubahan sosial kalau tatanan dan fungsi dalam masyarakat yang berubah. Sebagai contoh ketika muncul persatuan pekerja atau organisasi buruh yang dalam masyarakat kapitalis menyebabkan perubahan hubungan antara pekerja dengan majikan yang kemudian berimplikasi juga pada berubahnya organisasi ekonomi atau bahkan politik (pada negara tertentu ada yang berubah menjadi partai politik, misalnya partai buruh di Inggris).

Soerjono Soekamto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar, mengutip pendapat Gillin dan Gillin tentang perubahan sosial sebagai suatu variasi dari suatu cara hidup yang telah ada dan diterima dalam suatu masyarakat, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi (susunan) penduduk, ideologi ataupun juga karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan teknologi terbaru dalam suatu masyarakat.[6] Jadi jika suatu masyarakat mengadakan atau melakukan suatu variasi atau cara lain dari kebiasaan yang sudah ada, maka hal itu dinamakan perubahan.

Konsep perubahan sosial adalah fenomena yang rumit, dalam arti menembus ke berbagai tingkat kehidupan sosial. Dan jika ada suatu defenisi tentang perubahan sosial yang mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, maka hal itu benar saja. Karena, pada keseluruhan aspek kehidupan yang terjadi dalam susunan sosial, sistem sosial, dan organisasi sosial masyarakat.[7]

Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan sosial yaitu perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem sosial, yang mana termasuk didalamnya aspek kebudayaan juga nilai-nilai, norma, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, sikap, maupun pola tingkah laku dalam suatu masyarakat. Atau jika kita melihat adanya perbedaan keadaan yang terjadi sekarang dalam suatu masyarakat jika dibandingkan dengan keadaannya dahulu, maka hal itu dapat dikatakan bahwa dalam struktur sosial masyarakat tersebut telah berubah.

Banyak yang berpendapat bahwa kecendrungan terjadinya suatu perubahan pada masyarakat merupakan penomena yang wajar sebagai akibat dari pergaulan hidup, dan banyak pakar yang mengemukakan pendapat bahwa perubahan sosial terjadi sebagai akibat adanya perubahan yang terjadi dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan dalam suatu masyarakat, seperti perubahan ekonomi, kebudayaan dan teknologi, politik, geografis dan sebagainya, yang pada dasarnya bermuara pada kesimpulan bahwa perubahan merupakan suatu mata rantai kejadian yang melingkar dan tidak terputus.

Pada term norma dan perubahan sosial, maka jika norma adalah dasar dari keteraturan kehidupan sosial, maka perubahan sosial, yakni yang merupakan perubahan dalam struktur masyarakat, terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam norma-norma sosial tersebut.[8] Sehingga ketika norma dalam suatu struktur masyarakat telah berubah maka perubahan dalam masyarakat tersebut telah terjadi.

Pendapat Pitirim A. Sorokin yang meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingakran perubahan sosial, namun perubahan tetap ada dan yang paling penting adalah lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari, dan dengan jalan tersebut barulah dapat diperoleh suatu generalisasi tentang lingakran perubahan sosial tersebut.[9]

  1. Pengertian Pendidikan Islam

Sebelum membahas pengertian Pendidikan Islam, perlu kita mengetahui dahulu tentang arti pendidikan, menurut Badan PBB yang bernama UNESCO bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan manusia dewasa untuk mengembangkan kemampuan anak memalui bimbingan, mendidik dan latihan untuk peranannya di masa depan.[10] Pendidikan merupakan proses memberdayakan atau juga mengembangkan potensi setiap manusia, usaha mewujudkan potensi kreatif dan tanggungjawab kehidupan termasuk tujuan pribadinya.

Adapun pendidikan Islam yaitu sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai kepribadiannya.[11] Pengertian lainnya mengatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam al-Qur’ân dan terjabar dalam Sunnah Rasul,[12] jadi yang dimaksudkan dengan pendidikan Islam adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[13] Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan lain, yaitu adanya penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya ummat manusia atau masyarakat tersebut.

Dapat dikatakan bahwa seseorang yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita Islam,[14] dengan kata ketika seseorang yang menerima pendidikan Islam maka ia menjalankan kehidupannya sesuai dengan koridor ajaran Islam, yaitu al-Qur’ân dan Hadits. Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang diperlukan seorang hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat duniawi dan terlebih ukhrawi.

C. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Pendidikan Islam

Pendidikan adalah suatu bentuk dari perwujudan seni dan budaya manusia yang terus berubah (berkembang) dan sebagai suatu alternatif yang paling rasional dan memungkinkan untuk melakukan suatu perubahan atau perkembangan. Dan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem sosial, yang mana termasuk didalamnya adalah pendidikan, karena pendidikan ada dalam masyarakat, baik itu pendidikan formal, informal, maupun non formal (ada istilah lain yang menyebutkan ketiga istilah tersebut, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah), dan perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat sangat berpengaruh terhadap pendidikan, dan tidak terkecuali pendidikan Islam.

Kita mafhum pada zaman sekarang ini bahwa ada perubahan sosial yang berjalan begitu cepat (namun ada juga yang berjalan dengan lamban), juga sangat berdampak pada pendidikan, misalnya dengan bertambahnya penduduk yang cepat maka perlu disediakan sekolah untuk menampung siswa tersebut, sehingga sarana pendidikanpun juga harus dibangun lebih banyak.[15] Lalu dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial itu pula kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan guna menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, akan sangat memerlukan pendidikan guna mempersiapkan masyarakat itu sendidri dalam menghadapi perkembangan zaman itu. Misalnya pada bangsa Indoneisa pada tahun 1800 yang banyak tidak bisa baca tulis, jika dibandingkan dengan keadaan sekarang yang sudah maju.

Upaya bangsa Indonesia untuk memberantas kebodohan dengan mewajibkan pendidikan dasar sembilan tahun adalah satu upaya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Seiring dengan berubahnya kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang mampu membekali diri mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang nantinya dpat digunakan atau dipraktikkan dalam kehidupan nyata, maka perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan orientasi pendidikan juga akan terjadi.

Jika kita melihat perubahan sosial sebagai dampak dari berkembangnya teknologi adalah dengan sangat mudahnya mengakses internet yang bagi masyarakat yang tidak agamis dapat digunakan untuk hal-hal yang negatif, kita juga bisa menyaksikan banyaknya kecurangan-kecurangan, ketidak jujuran, dan banyak perbuatan negatif yang bertentangan dengan norma agama Islam sebagai dampak dari perubahan sosial, karenanya sangat diperlukan sistem Pendidikan Islam yang dapat mempersiapkan manusia (masyarakat) untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Dampak lain dari terjadinya perubahan sosial terhadap pendidikan Islam adalah dengan terus dikembangkannya kurikulum yang mampu menjawab tantangan perubahan, juga berdampak pada perubahan sistem manajemen pendidikan yang berorientasi pada mutu (quality oriented), yaitu tuntutan akan peningkatan kualitas pembelajaran yang berkelanjutan menuju kepada pembelajaran unggul sehingga menghasilkan output yang berkualitas.[16]

Perubahan sosial yang terjadi pada suatu masyarakat sangat berpengaruh pada pendidikan dan pendidikan Islam pada khususnya, namun tidak semua perubahan sosial yang terjadi berdampak positif, tetapi ada juga perubahan sosial yang menghasilkan akbit buruk bagi dunia pendidikan Islam, berikut sisi positif dan negatif dari suatu perubahan sosial terhadap pendidikan Islam:

1. Dampak positif

Sisi positif dari sebuah perubahan sosial bagi pendidikan Islam adalah dapat meningkatnya taraf pendidikan Islam dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat menghasilkan manusia yang siap menghadapi perubahan sosial tersebut dengan mengacu pada ajaran-ajaran Islam.

2. Dampak negatif

Sedangkan dari sisi negatif dari suatu perubahan sosial terhadap pendidikan Islam adalah ketidaksiapan pendidikan Islam menerima perubahan yang begitu cepat dan drastis, artinya lembaga pendidikan Islam harus lebih siap dalam menghadapi perubahan sosial yang semakin berkembang dan terus menerus berubah.

Apalagi dengan berkembangnya teknologi yang begitu pesat yang membuat banyaknya pengaruh budaya dari luar yang merasuk pada kehidupan dan cara hidup anak-anak muslim. Siaran televisi dan akses internet yang sudah bisa dilakukan dimana saja, menjadi tantangan tersendiri bagi pendidikan Islam untuk mengantisipasinya, jika pendidikan Islam tidak siap terhadap perubahan tersebut maka, pendidikan Islam akan tergusur, tetapi tidak jika para pegiat pendidikan Islam senantiasa berinnovasi dan berkreasi dalam mengantisipasi perbuhan tersebut, dengan tentunya tidak terlepas dari tuntunan ajaran Islam.

Pengaruh perubahan sosial yang lainnya terhadap pendidikan Islam adalah terjadinya transformasi pemikiran dalam pendidikan Islam, seiring dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.[17] Sehingga pendidikan Islam juga mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena adanya persepsi bahwa Islam sebagai penghambat perubahan, Islam dituduh sebagai tatanan nilai yang tidak bisa berdampingan dengan kemajuan dan sains modern. Jelas semua anggapan tersebut salah karena ajaran Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman dan mendukug perkembangan sains (sains yang value bound, bukan yang free of value), karena pada hakekatnya perkembangan dan kemajuan sains harus sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Dalam hal yang lebih kongkrit pengaruh perubahan sosial terhadap pendidikan Islam adalah ketika perubahan sosial membawa kepada perbaikan ekonomi masyarakat dan menuntut mereka untuk memenuhi kebutuhan akan hasil teknologi seperti komputer/laptop, maka ketika seorang anak yang mendapat tugas dari gurunya untuk membuat karya tulis sederhana yang bahannya tersedia lewat internet, maka secara langsung dan jelas perubahan sosial.

Kita juga melihat perkembangan lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada IPTEK sebagai hasil dari berubahnya masyarakat, sehingga banyak visi sekolah/madrasah yang mengedepankan orientasi IPTEK, karena disisi lain masyarakat juga menuntut lembaga pendidikan yang mengikuti perkembangan dan mampu mempersiapkan anak mereka untuk menghadapi masa depan. Jelas, bahwa perubahan sosial yang terjadi sangat berdampak pada pendidikan Islam.

Pesantren modern adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang mencoba mengakomodasi keinginan masyarakat akan mutu manusia yang beriman sekaligus juga berwawasan keilmuan, sehingga selain dipelajari bahasa Arab sebagai modal utama dalam mengkaji ilmu keislaman dari sumber yang menggunakan bahasa Arab, juga bahasa asing dunia lainnya terutama bahasa Inggris sebagai antisipasi terhadap perubahan sosial yang mengedepankan kemampuan individu yang komprehensif.

Bahkan banyak sekolah/madrasah yang diberi lebel “Model” yang oleh pemerintah disiapkan untuk membentuk dan menyiapkan sumber daya manusia yang Islami sekaligus tidak gagap teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dalam sejarah lembaga pendidikan Islam juga berubah atau berkembang menurut keadaan masyarakat, kalau pada saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara, Islam diajarkan melalui lembaga surau, namun ketika masyarakat berubah, maka Islam sekarang juga diajarkan melalui pendidikan formal (jalur sekolah).

Dalam kerangka merealisasikan tugas lembaga pendidikan Islam sebagai institusi yang mempersiapkan generasi bangsa, maka ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi, yaitu[18]:

  1. Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang membawa manusia kepada sisksa:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[19]

  1. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia dunia dan akhirat, sebagai realisasi cita-cita bagi orang yang beriman dan bertaqwa, yang senantiasa memanjatkan do’a-do’a sehari-hari

Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[20]

  1. Prinsip Amar ma’ruf Nahi Munkar serta membebaskan manusia dari belenggu kenistaan.
  2. Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, daya rasa sehigga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat memfungsikan daya kreasi, rasa dan karsanya.
  3. Prisnsip pembentukan pribadi manusia yang memancarkan sinar keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama lain saling mengembangkan hidupnya untuk menghambakan dirinya kepada Sang Maha Pencipta.

Perubahan sosial yang terjadi dapat saja mempengaruhi pelaksanaan prinsip-prinsip pendidikan Islam tersebut, karena prinsip-prinsip tersebut bisa saja tidak berjalan dengan baik karena perubahan sosial yang terjadi, misalnya berubahnya pola pikir masyarakat dari orientasi agama kepada orientasi dunia kerja, sehingga pendidikan Islam sering kali terpinggirkan, menjadi marjinal, dan tidak menjadi pilihan pertama. Hal tersebut juga mungkin saja dikarenakan bahwa lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan Islam tidak mengantisipasi perubahan sosial tersebut, karena bisa saja pendidikan Islam mempersiapkan SDM/lulusan yang siap kerja dan siap membuka lapangan pekerjaan.

D. Penutup

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat akan sangat mempengaruhi pendidikan Islam, hal ini terlihat dari upaya pemerintah dan pihak sekolah serta peran serta masyarakat (komite) dalam memberikan pelajaran yang barkaitan dengan bekal bagi masa depan siswa, misalnya pelajaran bahasa Asing lain (selain bahasa Arab), pendidikan IT dan sebagainya.

Dan dengan segala perubahan sosial –dan juga budaya- yang terjadiserta pesatnya era informasi seperti sekarang, maka sebagai pendidik (dan sebagai orang yang peduli dengan pendidikan) dapat memahami dan memanfaatkan segala kemajuan teknologi tersebut sekaligus sebagai filter bagi anak didik dan memberikan masukan serta mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi perubahan sosial tersebut.

E. Saran

Kepada semua stake holder disekolah agar senantiasa melakukan inovasi dalam pendidikan guna mengantisipasi tuntutan masyarakat akan sekolah yang baik dengan indikasi bahwa sekolah tersebut tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang pesat.


DAFTAR BAHAN BACAAN

Arifin, H. M. , Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)

Berry, David, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Terj. Paulus Wirutomo, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003)

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995)

Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan (Restrofeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia), (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP), 2008)

Marimba, Ahmad D., Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984)

Poerbakawaja, R. Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung)

Sajagyo, Pudjiwati, Sosiologi Pembangunan, (Jakarta; Fakultas Pascasarjana IKIP, 1995)

Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1990)

Syafaruddin dan Irwan Nasution, Manajemen Pembelajaran, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005)

Tirtosudarmo, Riwanto, Dinamika Pendidikan dan Ketenagakerjaan Pemuda di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarma Indonesia, 1994)

Wahyu, Dr. H., MS, Memahami Perubahan Sosial: Aplikasi Teknik Pengendalian dan Analisis Lingkungan Organisasi, (Banjarmasin; Makalah Disampaikan pada Acara Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Regional Kalimantan, tgl. 2 s.d. 6 September 2007)

Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional), (Jakarta: Quantum Teaching, 2004)


[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, Cet. 3, 1990) hlm 981

[2]Ibid., hlm. 855

[3]Pudjiwati Sajagyo, Sosiologi Pembangunan, (Jakarta; Fakultas Pascasarjana IKP, 1995), hlm. 205

[4]Ibid, hlm. 206

[5]Ibid

[6]Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1990), hlm. 303

[7]Dr. H. Wahyu MS, Memahami Perubahan Sosial: Aplikasi Teknik Pengendalian dan Analisis Lingkungan Organisasi, (Banjarmasin; Makalah Disampaikan pada Acara Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Regional Kalimantan, tgl. 2 s.d. 6 September 2007) hlm. 2

[8]David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Terj. Paulus Wirutomo, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003) hlm. 71

[9]Soerjono Soekamto, Op. Cit., hlm. 303

[10]R. Soegarda Poerbakawaja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung) hlm. 398

[11]H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) hlm. 7

[12]Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984) hlm. 23

[13]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hlm. 9

[14]Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan (Restrofeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia), (Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP), 2008) hlm. 168

[15]Riwanto Tirtosudarmo, Dinamika Pendidikan dan Ketenagakerjaan Pemuda di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarma Indonesia, 1994) hlm. 21

[16]Syafaruddin dan Irwan Nasution, Manajemen Pembelajaran, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 13

[17]Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional), (Jakarta: Quantum Teaching, 2004) hlm. 125

[18]Hasbullah, Op. Cit., hlm. 129

[19]QS. at-Tahrim [66]: 6

[20]QS. al-Qashash [28]: 77