Kamis, 14 Oktober 2010

Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Klinis

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI SUPERVISOR KLINIS

Oleh: Muhammad Toha

A. Pendahuluan

Kepala sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pimpinan (manajer), edukator, innovator, dan motivator saja, akan tetapi ia juga berfungsi seabgai supervisor. Adapun fungsinya sebagai supervisor pendidikan, kepala sekolah harus pandai meneliti, mencari dan menentukan syarat-syarat mana saja yang diperlukan bagi kemajuan sekolah sehingga tujuan-tujuan pendidikan di sekolah semaksimal mungkin dapat tercapai (Ngalim Purwanto, 2005:115). Dalam kaitannya dengan fungsi ini, secara khusus kepala sekolah mempunyai fungsi sebagai supervisor pengajaran dan supervisor klinis (Ngalim Purwanto, 2005:94 dan 118).

Sebagai supervisor klinis, kepala sekolah memiliki tanggungjawab untuk mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi di dalam proses pembelajaran, dan secara langsung pula berusaha mencari solusi bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut (Ngalim Purwanto, 2005:90). Dalam hal ini, kepala sekolah bersama-sama dengan guru mendiagnosis faktor-faktor penyebab yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kesulitan, kelemahan atau kekurangan di dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah ini memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kinerja guru-guru sebagai pengajar, pembimbing dan administrator di kelas. Pelaksanaan fungsi supervisi secara periodik dan efektif dengan tetap menjaga hubungan emosional dan harmonis antara kepala sekolah sebagai supervisor dan guru-guru sebagai pihak yang disupervisi, akan memacu mereka untuk bekerja lebih baik dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.

Konklusi logis dari pernyataan tersebut bahwa ketika fungsi supervisi dijalankan secara baik oleh kepala sekolah dan berjalan dengan efektif maka akan memberikan kontribusi positif terhadap produktivitas kinerja guru, dan produktivitas kinerja guru dapat berpengaruh positif pula terhadap pencapaian mutu pembelajaran.

B. Pengertian

1. Pengertian Supervisi

Istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others” sedangkan kata vision berarti “the ability to perceive something not actually visible, as through mental acuteness or keen foresight. Menurut S. Wajowasito dan W.J.S Poerwadarminta yang dikutip HB. Suparlan (dalam Supervisi kolegial dalam penyusunan renstra sekolah, Online 12 Desember 2009 tersedia dalam http://www.p4tkpknips.org): “Supervisi dialih bahasakan dari perkataan inggris “Supervision” artinya pengawasan. Supervisi dilihat dari bentuk perkataannya, supervisi terdiri dari dua buah kata super ditambah vision: Super = atas, lebih, Vision = lihat, tilik, awasi. Makna yang terkandung dari pengertian tersebut, bahwa seorang supervisor mempunyai kedudukan atau posisi lebih dari orang yang disupervisi, tugasnya adalah melihat, menilik atau mengawasi orang-orang yang disupervisi.

Menurut Sergiovanni (1982:10) Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggungjawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu. Jadi supervisi itu itu bukan peranan, tapi merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi disekolah yang digunakan oleh personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha mencari tujuan pendidikan.

Kimball Wiles (1967: 5 dan 9) mendefinsikan supervisi sebagai berikut: “Supervision is a service activity that exists to help teachers do their job better….The supervisor’s function is to help teachers release their full potential….Supervision is assistance in improvement.”. Supervisor adalah seorang yang profesional dan dalam menjalankan tugasnya, ia bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk melakukan tugasnya diperlukan kelebihan yang dapat melihat dengan tajam terhadap permasalahan peningkatan mutu pendidikan, menggunakan kepekaan untuk memahaminya dan tidak hanya sekedar menggunakan penglihatan mata biasa. Ia membina peningkatan mutu akademik melalui penciptaan situasi belajar yang lebih baik, baik dalam hal fisik maupun lingkungan non fisik.

Ahli administrasi pendidikan sepakat bahwa supervisi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang pengkajiannya dititikberatkan pada peningkatan situasi belajar-mengajar. Hal ini diungkapkan dalam tulisan Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika (Association for Supervision and Curriculum Development, 1987:129 dalam HB. Suparlan, Supervisi kolegial dalam penyusunan rencana pembelajaran sekolah, Online 12 Desember 2009 tersedia dalam http://www.p4tkpknips.org) yang menyatakan “Almost all writers agree that the primary focus in educational supervision is-and should be-the improvement of teaching and learning. The term instructional supervision is widely used in the literature of embody all effort to those ends. Some writers use the term instructional supervision synonymously with general supervision.”

Dalam konteks pengawasan mutu pendidikan, maka supervisi oleh pengawas satuan pendidikan antara lain kegiatannya berupa pengamatan secara intensif terhadap proses pembelajaran pada lembaga pendidikan, kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian feed back. Hal ini sejalan pula dengan pandangan L. Drake (1980: 278 dalam Iim Ali Imran, Kompetensi Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah dalam Supervisi Pendidikan, Online 18 Desember 2009, tersedia dalam http://iimrsch.wordpress.com) yang menyebutkan bahwa supervisi adalah suatu istilah yang sophisticated, sebab hal ini memiliki arti yang luas, yakni identik dengan proses manajemen, administrasi, evaluasi dan akuntabilitas atau berbagai aktivitas serta kreatifitas yang berhubungan dengan pengelolaan kelembagaan pada lingkungan kelembagaan setingkat sekolah.

Rifa’i (1992: 20 dalam Sahertian, 2008: 7) merumuskan istilah supervisi merupakan pengawasan profesional, sebab hal ini di samping bersifat lebih spesifik juga melakukan pengamatan terhadap kegiatan akademik yang mendasarkan pada kemampuan ilmiah, dan pendekatannyapun bukan lagi pengawasan manajemen biasa, tetapi lebih bersifat menuntut kemampuan profesional yang demokratis dan humanistik oleh para pengawas pendidikan.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, maka yang dimaksud dengan pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, dan sekolah menengah.

2. Pengertian Supervisi Klinis

Istilah klinis (clinical) mengandung maksud bahwa dalam pelaksanaan supervisi hubungan berlangsung secara tatap muka (face to face) antara guru dengan supervisor dan difokuskan pada perilaku actual guru di depan kelas. Kata klinis juga mengandung arti berkenaan dengan penyakit (pathology) (Jayadi, 2002: 70-71). Memang konotasi tersebut tidak sepenuhnya tepat. Seorang supervisor dalam melaksanakan layanan supervisi klinis, ibarat seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya. Didahului dengan datangnya pasien, kemudian dokter menanyakan keluhan apa saja yang dirasakan untuk mengetahui sebab-sebab dan jenis penyakit yang diderita, kemudian setelah mendapatkan kepastian dari proses diagnosis baru dokter memberikan obatnya. Hal yang terpenting dari analogi dengan pengobatan penyakit adalah bahwa supervisi klinis menghendaki inisiatif datang dari guru, untuk penyembuhan suatu aspek tertentu yang jelas, dan memang sangat dibutuhkan oleh guru itu sendiri. Tekanan pokok supervisi klinis adalah pengembangan profesionalisme guru, ia merupakan supervisi untuk membantu guru meningkatkan performa pengajarannya. Pernyataan ini sebagaimana dikemukakan oleh Keith A. Acheson dan Meredith Damien Gall (1987:11) sebagai berikut.

“Clinical” is meant to suggest a face-to-face relationship between teacher and supervisor and a focus on the teacher’s actual behavior in the classroom….The word “clinical” can also connote pathology, a connotation that should not be applied to the model of teacher supervision presented here. We certainly do not wish you to think that clinical supervision is always a “remedy” applied by the supervisor to deficient or unhealthy behavior exhibited by the teacher....Clinical supervision acknowledges the need for teacher evaluation, under the condition that the teacher participates with the supervisor in the process. The primary emphasis of clinical supervision is on professional development, however. It is supervision to help the teacher improve his or her instructional performance.

Richard Weller dalam Keith A. Acheson (1987:13) mendefinisikan supervisi klinis sebagai berikut: “Clinical supervision may be defined as supervision focused upon the improvement of instruction by means of systematic cycles of planning, observation, and intensive intellectual analysis of actual teaching performances in the interest of rational modification”. Menurutnya, supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional.

Sedangkan John J. Bolla dalam Ngalim Purwanto (2005:91) mendefinisikan supervisi klinis sebagai: “suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut”.

Supervisor dalam melakukan proses supervisi klinisnya memulai dengan menyelenggarakan pertemuan bersama guru. Dalam pertemuan itu guru mempunyai keesempatan untuk menentukan perhatian, kebutuhan dan aspirasi pribadinya. Peranan supervisor di sini adalah membantu guru menjernihkan persepsi-persepsi ini sehingga mereka mempunyai gambaran yang jelas tentang pembelajaran mutakhir, pandangan tentang pembelajaran yang ideal. Lalu supervisor dan guru mencari teknik-teknik baru yang mungkin dapat dicobakan agar pembelajaran ke depan lebih ideal. (Acheson dan Gall 1987:11)

Keith A. Acheson sendiri cenderung mengistilahkan supervisi klinis dengan sebutan Teacher Centered Supervision (supervisi yang terpusat pada guru) untuk maksud bahwa dalam supervisi klinis guru adalah orang yang secara proaktif menyampaikan inisiatifnya tentang problem-problem pembelajaran yang dialami kepada supervisor, selanjutnya dicarikan solusi yang terbaik atas masalah-masalah tersebut. (Acheson dan Gall 1987:10-11)

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa inti supervisi klinis ialah proses pembimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionaisme guru dengan menekankan pada penampilan mengajar, melalui prosedur yang sistematis dimulai dari pertemuan pendahuluan, observasi kelas, dan peretemuan balikan, data dianalisis secara cermat, teliti dan objektif guna mendapatkan perubahan tingkah laku mengajar yang diharapkan.

C. Tujuan supervisi klinis

Pertemuan pendahuluan, observasi ruang kelas, dan pertemuan umpan balik (feedback) merupakan kegiatan-kegiatan utama supervisi klinis. Tujuan pokok dari kegiatan-kegiatan ini adalah perbaikan pengajaran guru di kelas. Dalam hal ini supervisi klinis merupakan sebuah teknik kunci untuk menaikkan atau meningkatkan pertumbuhan professional guru.

Menurut Keith A. Acheson dan Gall (1987:15-16), tujuan supervisi klinis dapat diuraikan ke dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran secara objektif kepada guru mengenai penampilan mengajar yang senyatanya. Supervisi klinis dapat diibaratkan sebuah cermin bagi para guru sehingga mereka dapat melihat kondisi yang senyatanya mengenai penampilan mengajarnya di kelas.

2. Mendiagnosis dan memecahkan permasalahan pengajaran. Supervisi klinis menggunakan teknik pertemuan dan catatan observasi dalam membantu guru melihat ketidaksesuaian/penyimpangan dari yang seharusnya (penampilan mengajar ideal). Pada akhirnya guru diharapkan dapat melakukan diagnosis sendiri tentang ketidaksesuaian perilaku mengajarnya tanpa harus dibantu supervisor. Namun hal ini bukan berarti sudah tidak membutuhkan lagi bantuan supervisor, pada saat dan aspek tertentu tetap memerlukan campur tangan supervisor.

3. Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam hal strategi mengajar yang dipakainya. Supervisi klinis bukan sekedar membantu guru memecahkan dengan segera permasalahan dan ketimpangan yang dialami dalam mengajar, akan tetapi lebih dari itu, yakni dengan pendekatan supervisi klinis diharapkan guru dapat mengembangkan secara terus menerus pola-pola perilaku mengajar, atau yang disebut strategi pengajaran. Untuk mencapai tujuan ini tentu sangat memerlukan kemahiran dan kecakapan supervisor serta kiat-kiat khusus dalam menyelenggarakan layanan supervisi klinis.

4. Mengevaluasi guru untuk promosi, kenaikan jabatan, atau untuk keputusan lain. Tujuan ini terkesan sangat controversial dengan fungsi supervisi klinis. Dan mungkin ada sebagaian supervisor yang menolaknya sebagai tujuan supervisi klinis. Dalam praktek di lapangan boleh saja terjadi, supervisor mengevaluasi kemampuan guru. Karena memang supervisi klinis yang penekanannya pada pengembangan profesiuonalisme guru atas dasar data objektif yang dikumpulkan melalui observasi kelas secara sistematis pada hakikatnya adalah kegiatan mengevaluasi kemampuan guru.

5. Membantu guru mengembangkan sikap positif dalam pengembangan profesionalisme secara berkesinambungan. Melalui supervisi klinis diharapkan dapat membantu guru untuk menyadari dan tumbuh kemauan untuk melatih diri secara terus menerus tanpa akhir (selama masih dinas).

Dengan demikian jelas bahwa pada prinsipnya, tujuan pokok supervisi klinis adalah meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dengan memfokuskan pada perbaikan penampilan guru mengajar di kelas.

D. Ciri-ciri supervisi klinis

Menurut La Sulo sebagai dikutip Ngalim Purwanto (2005:91) mengemukakan ciri-ciri supervisi klinis ditinjau dari segi pelaksanaannya sebagai berikut:

  1. Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi;
  2. Jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor;
  3. Meskipun guru mempergunakan berbagai keterampilan mengajar secara terintegrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan saja;
  4. Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dan guru berdasarkan kontrak;
  5. Balikan diberikan dengan segera dan secara objektif (sesuai dengan data yang direkam oleh instrument observasi);
  6. Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasi data yang direkam oleh instrument observasi, di dalam diskusi atau pertemuan balikan guru terlebih dahulu diminta menganalisis penampilannya;
  7. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan;
  8. Supervisi berlangsung dalam suasana intim dan terbuka;
  9. Supervisi berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi dan diskusi/pertemuan balikan;
  10. Supervisi klinis dapat dipergunakan untuk pembentukan atau peningkatan dan pervaikan keterampilan mengajar; di pihak lain dipakai dalam konteks pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan.

Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui dan dibedakan antara supervisi pengajaran dan supervisi klinis. Supervisi pengajaran lebih menekankan pada pengawasan dari supervisor terhadap guru-guru tentang pengelolaan pembelajaran yang dikelolanya. Sedangkan supervisi klinis lebih menekankan pada inisiatif guru untuk menyampaikan problem-problem pengajaran yang dihadapinya untuk disampaikan kepada supervisor, dan selanjutnya dicarikan solusi terbaiknya. Persamaannya adalah bahwa baik dalam supervisi pengajaran maupun dalam supervisi klinis dituntut adanya kooperasi atau kerja sama yang harmonis antara supervisor dengan guru itu sendiri, guru tidak boleh masa bodoh.

E. Prinsip dan prosedur supervisi klinis

Dalam melaksanakan supervisi klinis terdapat beberapa prinsip umum yang harus dijadikan patokan oleh supervisor dalam melaksanakan kegiatannya. Menurut Acheson (1987:10) ada tiga prinsip umum yang harus menjiwai tindakan atau keputusan supervisor, yaitu interaktif bukan directif, demokratis bukan otoritatif, dan berpusat pada guru bukan pada supervisor. Sedangkan menurut Nurtain dalam Jayadi (2002:74-75), prinsip-prinsip supervisi klinis itu adalah sebagai berikut:

1. Terpusat pada guru ketimbang supervisor. Prinsip ini menekankan prakarsa dan tanggung jawab meningkatkan keterampilan mengajar dan menganalisis serta mencari cara meningkatkan keterampilan mengajar tersebut sangat berkaitan/disesuaikan dengan kebutuhan guru yang bersangkutan;

2. Hubungan guru dengan supervisor lebih interaktif ketimbang direktif. Prinsip ini menekankan bahwa antara supervisor dan guru pada hakikatnya sederajat dan saling membantu dalam meningkatkan kemampuan dan sikap profesionalnya;

3. Demokratif ketimbang otoritatif. Prinsip ini menekankan kedua belah pihak harus bersifat terbuka, dalam arti masing-masing pihak mempunyai hak mengemukakan pendapat secara bebas, namun masing-masing juga berkewajiban mempertimbangkan pendapat pihak lain dalam rangka mencapai kesepakatan;

4. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru. Prinsip ini mengandung arti bahwa kebutuhan mendapatkan layanan supervisi itu bersumber dan dirasakan manfaatnya oleh guru. Kebutuhan dan aspirasi guru tidak terlepas dari kawasan penampilan guru di depan kelas;

5. Umpan balik dari proses belajar mengajar guru diberikan dengan segera dan hasil atau kesimpulannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama;

6. Layananan supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional guru; dan

7. Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pengajaran hanya memfokuskan pada beberapa keterampilan saja. Meskipun keterampilan mengajar dapat digunakan secara integrative, tetapi untuk peningkatan keterampilan tertentu dapat dilakukan secara terisolasi agar mudah dikontrol dan diamati.

Supervisor (termasuk kepala sekolah) dalam melaksanakan kegiatan supervisi klinisnya harus mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut di atas agar hasil yang dicapainya itu optimal. Bila prinsip-prinsip itu tidak dihiraukan oleh supervisor, maka bisa jadi penyelesaian masalah yang dihadapi guru yang berhubungan dengan pengelolaan pembelajaran atau pengajaran tidak mencapai titik temu. Dengan kata lain, masalah tinggallah masalah tanpa ada penyelesaian yang tuntas.

Adapun prosedur pelaksanaan supervisi klinis adalah dengan mengikuti tiga tahapan, sebagaimana dikemukakan oleh Acheson (1987:13): “In brief, clinical supervision is a model of supervision that contains three phases: planning conference, classroom observation, and feedback conference. The most distinctive features of clinical supervision are its emphases on direct teacher-supervisor interaction and the teacher’s professional development” Artinya, supervisi klinis dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan balikan. Hal yang paling membedakan supervisi klinis adalah penekanannya pada interaksi langsung guru-supervisor dan pengembangan professional guru. Tahap pertemuan pendahuluan dimaksudkan sebagai langkah inventarisir masalah yang dihadapi guru; tahap observasi kelas dimaksudkan sebagai tahap untuk melihat secara real pembelajaran yang terjadi di dalam kelas; sedangkan tahap pertemuan balikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan yang kedua tadi.

Gambar 1.

Siklus Supervisi Klinis

Tahap pertemuan pendahuluan (tahap pertama); Pada tahap ini yang terpenting untuk diperhatikan, terutama oleh supervisor, adalah harus dapat menciptakan suasana yang akrab, terbuka dan penuh persahabatan. Jadi yang terjalin adalah hubungan kolegial dalam suasana kerjasama yang harmonis. Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat.

Menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:77), secara teknis diperlukan lima langkah dalam pelaksanaan pertemuan pendahuluan yang meliputi:

1. Menciptakan suasana yang akrab antara supervisor dengan guru;

2. Melakukan kajian ulang rencana pembelajaran (tujuan, bahan, kegiatan, dan evaluasinya) yang telah dibuat oleh guru;

3. Mengidentifikasi komponen keterampilan (beserta indikatornya) yang akan diobservasi;

4. Memilih atau mengembangkan instrument observasi yang akan digunakan;

5. Mendiskusikan bersama untuk mendapatkan kesepakatan tentang instrument observasi yang dipilih atau dikembangkan

Dengan demikian, pada tahap pertemuan pendahuluan supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Bagi guru maupun supervisor, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi kemampuan atau keterampilan mana yang memerlukan perbaikan. Keterampilan yang dipilih dan disepakati kemudian dioperasionalkan dalam bentuk rumusan tingkah laku yang dapat diamati dan dirumukan pula deskriptornya untuk kepentingan pencatatan data dan memberikan penafsiran (penilaian).

Tahap observasi kelas (tahap kedua); pada tahap ini guru mengajar atau melakukan latihan mengenai tingkah laku mengajar yang telah dipilih dan disepakati bersama pada tahap pertemuan pendahuluan. Ketika guru praktik/berlatih, supervisor mengadakan observasi dengan menggunakan alat perekam yang juga telah disepakati bersama. Aspek-aspek yang diamati adalah segala hal yang telah disepakati yang tercantum dalam instrument yang juga telah disetujui bersama dalam pertemuan pendahuluan.

Fungsi utama observasi kelas adalah untuk menangkap apa yang terjadi selama proses pengajaran berlangsung secara lengkap agar supervisor dan guru dapat dengan tepat mengingat kembali proses pengajaran dengan tujuan agar analisis dapat dibuat secara objektif. Ide pokok dalam observasi ini adalah mencakup apa yang terjadi sehingga dengan catatan yang dibuat dengan cermat dan lengkap serta kemudian tersimpan dengan baik, dapat bermanfaat untuk kepentingan analisis dan komentar (Jayadi, 2002:77).

Menurut Nurtain dalam Jayadi (2002:77-78), ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh supervisor dalam melaksanakan observasi ini, yaitu “kelengkapan catatan, focus, mencatat komentar, pola, dan membuat guru tidak merasa gelisah.” Hasil catatan observasi akan merupakan bukti-bukti atau data bagi supervisor atau guru untuk dikaji bersama dalam menganalisis apa yang terjadi selama proses pengajaran. “Catatan yang lengkap” akan sangat membantu dalam proses kajian dan analisis tersebut. Namun mencatat segala ssuatu yang terjadi di dalam kelas merupakan sesuatu yang sulit dan hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, maka supervisor harus memilih aspek-aspek keterampilan yang perlu dicatat. Disinilah pentingnya “fokus”. “Mencatat komentar” juga merupakan hal penting dalam pelaksanaan observasi, hal ini dilakukan agar supervisor tidak lupa terhadap komentar-komentar. Tetapi antara catatan dan komentar harus dipisahkan peletakannya, misalnya komentar dicatat pada tepi format observasi. “Pola” perilaku mengajar tertentu yang dilakukan guru sangat bermanfaat untuk dicatat dan nantinya untuk dibicarakan dalam pertemuan balikan. Kemudian, untuk “menghilangkan kegelisahan guru”, supervisor perlu menjelaskan kepada guru tentang apa yang akan dicatatnya. Penjelasan ini dapat disampaikan kepada guru ketika pada pertemuan pendahuluan sehingga guru mengetahuinya dan tidak perlu lagi merasa gelisah karena akan dilakukan pencatatan peristiwa.

Tahap pertemuan balikan (tahap ketiga); Tahap ini merupakan diskusi umpan balik antara supervisor dan guru berkaitan dengan kegaiatan yang baru saja diselesaikan yaitu, guru baru saja selesai melakukan latihan suatu keterampilan, dan supervisor baru saja selesai mengamati guru melakukan latihan. Yang menjadi acuan dalam pertemuan balikan ini adalah kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan pendahuluan, dan pada akhir diskusi balikan ini guru diharapkan dapat mengetahui dan menyadari seberapa jauh tujuan yang telah disetujui bersama dapat tercapai (Jayadi, 2002:78-79).

Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:79-80) mengemukakan langkah-langkah pembicaraan hasil supervisi klinis sebagai berikut.

1. Memberi penguatan dan menanyakan perasaan guru mengenai apa yang dialaminya dalam kegiatan mengajar secara umum. Hal ini untuk menciptakan suasana santai agar guru tidak merasa diadili;

2. Meriviu tujuan pelajaran;

3. Meriviu target keterampilan serta perhatian utama guru dalam mengajar/latihan mengajar

4. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pengajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya;

5. Menunjukkan data hasil rekaman dan memberi kesempatan kepada guru menafsirkan data tersebut.

6. Menganalisis dan menginterpretasikan data hasil rekaman secara bersama-sama;

7. Menanyakan kembali perasaan guru setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi rekaman data tersebut;

8. Menyimpulkan hasil dengan melihat atau membandingkan antara apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dengan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai;

9. Menentukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yag perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip umum supervisi klinis harus menjiwai seluruh tahap dalam siklus supervisi klinis, yakni tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan umpan balik. Prinsip-prinsip tersebut harus tercermin dalam wawasan supervisor dan harus menjadi landasan dari setiap keputusan dan perbuatannya dalam membantu guru meningkatkan profesionalismenya.

F. Simpulan

Berdasarkan uraian tentang supervisi klinis tersebut, dapat diambil beberapa simpulan yaitu:

1. Secara garis besar teknik supervisi ini dapat dilakukan dengan dua macam, yakni teknik perseorangan dan teknik kelompok. Teknik perseorangan adalah supervisi yang dilakukan secara perseorangan, sedangkan supervisi dengan teknik kelompok dapat mengambil bentuk supervisi kolegial.

2. Secara bahasa, istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others” sedangkan kata vision berarti “the ability to perceive something not actually visible, as through mental acuteness or keen foresight.

3. Secara istilah supervisi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggungjawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.

4. supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional. Supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut.

6. tujuan supervisi klinis dapat diuraikan ke dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: a) Memberikan gambaran secara objektif kepada guru mengenai penampilan mengajar yang senyatanya. b) Mendiagnosis dan memecahkan permasalahan pengajaran. c) Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam hal strategi mengajar yang dipakainya. d) Mengevaluasi guru untuk promosi, kenaikan jabatan, atau untuk keputusan lain. e) Membantu guru mengembangkan sikap positif dalam pengembangan profesionalisme secara berkesinambungan.

7. Ciri-ciri supervisi klinis: a) Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi; b) Jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor; c) Meskipun guru mempergunakan berbagai keterampilan mengajar secara terintegrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan saja; d) Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dan guru berdasarkan kontrak; e) Balikan diberikan dengan segera dan secara objektif (sesuai dengan data yang direkam oleh instrument observasi); f) Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasi data yang direkam oleh instrument observasi, di dalam diskusi atau pertemuan balikan guru terlebih dahulu diminta menganalisis penampilannya; g) Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan; h) Supervisi berlangsung dalam suasana intim dan terbuka; i) Supervisi berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi dan diskusi/pertemuan balikan; j) Supervisi klinis dapat dipergunakan untuk pembentukan atau peningkatan dan pervaikan keterampilan mengajar; di pihak lain dipakai dalam konteks pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan.

8. Tiga prinsip umum yang harus menjiwai tindakan atau keputusan supervisor, yaitu interaktif bukan directif, demokratis bukan otoritatif, dan berpusat pada guru bukan pada supervisor

8. Prinsip lainnya: a) Terpusat pada guru ketimbang supervisor; b) Hubungan guru dengan supervisor lebih interaktif ketimbang direktif; c) Demokratif ketimbang otoritatif; d) Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru; e) Umpan balik dari proses belajar mengajar guru diberikan dengan segera dan hasil atau kesimpulannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama; f) Layananan supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional guru; dan g) Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pengajaran hanya memfokuskan pada beberapa keterampilan saja.

9. Supervisi klinis dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap pertemuan balikan.

0 komentar:

Posting Komentar